Adikara Bibir Pasifik: Serangkai Puisi Firjal Usdek
Bencana, Duka, dan Dosa
Kapan kita peka ketika Tuhan beri petanda
Kapan kita peka saat bumi mulai digoyah
Kapan kita peka ketika gunung mulai membara
Kapan kita peka ketika laut tumpah melulantahkan isi kota
Pada bumi yang purba kita menaruh asa
Pada Bahtera Nuh, kita mengapung di Samudera
Sebentar lagi, mungkin pohon-pohon akan beterbangan
Sebentar lagi, mungkin kita tak lagi punya kampung halaman
Telunjuk kita malah liar mencari kesalahan, menuduh kesalehan
Kita sombong
Kita angkuh
Kita syirik
Kita pongah
Kita lupa
Kita jahil pada gunung, laut, dan tanah
Menghamba pada nafsu serakah
Laut tumpah, membersihkan dosa
Gunung marah, membakar amarah
Bumi meronta, kita merintih
Indonesia gelisah, kita mengesah
Petaka bencana menyadarkan dosa
(Jakarta, 28 September 2018)
Adikara Bibir Pasifik
Beranda Utara Negeri Raja-raja
Nakamura pernah bertapa
Puluhan tahun Menggoa
Hening dari perang saudara
Sejak Indonesia Merdeka
Di sini pula MacArctur berjaya
Ditakuti sekutu karena adidaya
Tapi ceritanya telah menua
Wayabula dulunya kota
Berjaya dengan kopra dan pala
Namun, sekarang tinggal cerita
Masih di Punggung Juanga
Tanjung Dehegila, tanahnya dijarah
Petani, nelayan terpenjara harga
Setelah lama dikuasai penjajah
Hampir seabad Indonesia Merdeka
Baru kemarin Morotai berjaya
Kini, tuah Morotai bergelora
Di bawah Nahkoda Rusli Sibua
Namun, bulan madunya dikudeta
Suka miskin menjadi nestapa
Meski Singgasananya masih belia
Jalan raya telah mengobati lara
Tabailenge, Mitita mulai dijabah
Dodola, Tanjung Amerika dipoles Merona
Menyilap mata nan mempesona
Penawar duka para tetua
Di atas sengketa pangkalan udara
7 raja pernah bertahta, tak bekerja
Para pengantara menumpuk harta
Menuju adikara selanjutnya
Pancaroba Melanda
Seketika mengubah cuaca
Perahu-perahu mulai tak tahu arah
Perahu kecil berlabuh di pulau hampa
Sementara perahu-perahu besar, kalut.
Kapten Nahkoda Mengira-ngira cuaca
Agar bisa berlabuh tepat di depan Istana.
(Morotai, 2019)
Lara Halmahera
(Bangkit atau Diselamatkan)
Di tepi selatan samudera pasifik, ada cerita,
Tentang langit yang menangis, tanah yang merintih,
Hutan lebat yang dulu megah, kini memudar…
Di sini… di tanah Halmahera, lara menggelegar.
Pohon-pohon yang dulu tegak, kini tumbang,
Ditikam besi, dirobek oleh tangan-tangan rakus,
Air sungai yang dulu jernih, kini keruh,
Membawa cerita duka, tangisan alam yang muram.
Langitmu berbisik, “Kembalikan damai kami,”
Namun suaranya terhimpit oleh gemuruh mesin,
Ikan-ikan yang berenang di laut yang tenang,
Kini terdampar, terperangkap dalam jerat kejam.
Anak-anakmu yang berlarian safana ilalang,
Kini terpaku, melihat kehancuran datang,
Angin membawa aroma pahit kehancuran,
Oh Halmahera, tanah yang dirundung duka,
Dimanakah cahaya harapan yang dulu menyinar?
Di ambang kehancuran ini, tersimpan kekuatan,
Untuk bangkit, melawan, dan menanti diselamatkan.
Lara Halmahera, takkan selamanya membara,
Ada tangan-tangan yang siap menyembuhkan luka,
entah itu bangkit, ataupun diselamatkan
(Sofifi, 15 Juni 2024)