“Beri Aku Judul II”: Serangkai Puisi Immamuddin Ayub
I
di negeri ini
corong asap tambang
lebih wangi dan menggoda
dari bau rempah
jika lapar
ada hidangan emas
dengan lauk nikel
jika haus
tersedia kemasan air al kautsar
di sungai-sungai Weda
begitulah kisah lalat-lalat
menyajikan Halmahera
seperti di pasar loak
diobral secara murah
II
perut petani yang keroncongan
bisa menghasilkan makanan mewah
di restoran mahal
bunyi cangkul petani
saat bertemu tanah
itu dzikir yang paling syahdu
jadi jangan kau kira
moncong senjata
lebih tajam dari cangkul
sebab saat semua petani putus kata
setahun tak menanam
bangsa ini pasti babak belur
di buat kelaparan
III
tak semua orang lahir
dari rahim petani
tapi hasil tani
di butuhkan sampai mati
mungkin petani
hanya memberi kenyang
makanya tak pernah jadi pahlawan
padahal negara krisis pangan
kadang memilih nasib menjadi petani
berarti harus bisa mewarisi
ilmu kemiskinan dan kemalangan
sebab hidup petani
berkabung luka
tak ada jalan pintas
tak butuh orang dalam
dikakinya bukan hanya becek
kadang harus berlumur semen
IV
bulan mei telah berhembus
rindu datang bertamu
bawa kenangan ke depan mata,
meluapkan ingatan kepergian
di pembaringan terakhir
kenangan diantar pada batas
hingga melupa
duka berarti sebuah hikmah
aku, kau, dia, atau siapa saja
yang menerima hidup
berarti berjalan menemui kematian
begitulah ajaran dalam galib se lakudi
ombak-ombak harus menemui tepi
untuk mengerti kepulangan itu cinta
V
mei
hujan pulang pada tanah
rindu bertemu pengembara
kita memilih hidup
tapi terkadang menyesali
kita dibuat mati
tapi terkadang tak menemui arti
berbahagialah
saat mengerti
hidup itu perkara menenun nasib
bergembiralah
saat kesunyian mendekap rindu
tapi senyum di bibir tak patah
sebuah nasihat ajaran usang
untuk punya hormat dan rasa
kita harus melewati manisnya duka dan cinta