Memotret Jejak Kebangsaan di Pulau Hiri
(Sebuah Telaah Sosio-Historis) [1]
Oleh: Wawan Ilyas
(Pemuda Pulau Hiri & Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
Orang-orang Hiri sejak lama terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketika para sejarawan banyak menulis kisah-kisah heroik para Sultan atau Raja dari abad berganti abad, atau tokoh pejuang nasionalis Indonesia yang memberi kontribusi perjuangan bangsa, dalam tempo yang lama, hampir tak ditemukan kecenderungan mendasar menelususri jejak-jejak kontribusi “warga lokal” di pelosok-pelosok negeri yang seluruh kehidupan mereka diabdikan untuk perjuangan. Sejarah ditulis sebagai kemenangan para Raja, Sultan dan Jenderal, bukan sebagai jerih payah hidup mati “rakyat” yang mempertaruhkan nyawa, darah dan air mata di medan pertempuran. Bagaimana mungkin memahami perjalanan Indonesia sebagai bangsa besar tanpa melihat jejak-jejak kesejarahan komunitas kebangsaan di seluruh penjuru Nusantara?
Masyarakat Hiri Sebagai Bangsa
Jauh sebelum masuk era penjajahan Belanda, sejak pertengahan tahun 1500-an ketika imperialisme Eropa (portugis) bercokol di tanah Maluku, orang Hiri menjadi kekuatan utama dalam upaya pengusiran bangsa Eropa dibawah kemasyuran Sultan Ternate, Sultan Baabullah Datu Sjah. Dalam riwayat sejarah perlawanan laut terbesar Indonesia, tercatat ada 400 pasukan asal Pulau Hiri yang terlibat pertempuran laut mengusir portugis bersama Baabullah.[2] Saya tak bisa membayangkan keberhasilan Sultan Baabullah tanpa dukungan 400 pemberani orang Hiri yang menempati posisi paling depan dalam struktur kemiliteran negara maritim Kesultanan Ternate.
Kesultanan Ternate merupakan negara maritim terbesar Indonesia Timur. Jika kita menelusuri struktur barikade pasukan laut kesultanan Ternate, maka yang ditemukan tidaklah masyarakat dari daerah atau Pulau lain yang menduduki posisi terdepan, selain para loyalis atau bala rakyat dari Pulau Hiri.[3] Selain utama di bidang angkatan laut, masyarakat Pulau Hiri merawat hirarki kultural paling tinggi dalam sebuah kesatuan masyarakat adat kesultanan Ternate. Secara kultural, hanya terdapat 4 Soa (Ternate Soa Raha) di Pulau besar Ternate, namun ada 5 Soa (Hiri Soa Romtoha) di Pulau Hiri.
Dalam makna kesatuan politik-pemerintahan, Soa artinya kampung yang dipimpin seorang Fanyira. Tetapi secara kultural, Soa adalah pendekan dari dua kata; “sonyinga asal” (mengingat asal)[4]. Soa karena itu, adalah pesan masyarakat bersejarah dan warisan budaya bernilai adi luhung yang mengajarkan kita, masyarakat lokal, untuk selalu mencintai identitas asal kita dalam kehidupan masyarakat beradat, berbudaya dan beragama dibawah naungan intitusi kesultanan Islam Ternate. Pemimpin Soa dalam makna kultural disebut Sangaji Soa. Dalam pemaknaan kultural Soa itu juga, arti sebuah bangsa (nation) melekat, dimana bangsa merupakan sekumpulan perasaan, imajinasi dan kehendak untuk hidup bersama menurut nilai-nilai kultural dalam suatu komunitas.[5] Masyarakat Pulau Hiri adalah potret komunitas-komunitas kebangsaan yang memiliki sejarah, memori kolektif, nilai-nilai budaya, asal-usul kekerabatan, kesatuan politik dan sudah tentu perasaan untuk diakui (recognition) tanpa mencederai nilai perjuangan yang ditorehkan para pendahulu.[6]
Sebagai masyarakat bersejarah, persinggungan internasional orang Hiri dalam sejarah bangsa Indonesia telah berlanjut hingga era sebelum kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Pada masa pendudukan Jepang 1943-1945, sejumlah pemuda Hiri direkrut ke dalam regu Hulphtroepen[7] untuk melancarkan operasi rahasia Negara-negara Sekutu mengasingkan Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah dari Ternate-Hiri-Morotai-Australia. Dibawah komando jenderal besar Perang Pasifik (Perang Asia Timur Raya), Doughlas MacArthur dari Amerika Serikat, pasukan gabungan intelijen Belanda, Australia, Amerika dan Hulphtroepen mensukseskan suatu misi “klandestin” mengalahkan Jepang sebagai wakil Fasisme di Asia.[8] Yang menarik dari operasi ini, MacArthur yang berkedudukan di Pulau Morotai, memilih Pulau Hiri sebagai pulau transit operasi pasukan khusus.
Pulau transit artinya sebelum pasukan ini mendarat dari Morotai ke Ternate, mereka terlebih dulu berlabuh di Pulau Hiri, tepat di pantai Sake Madaha (sekarang lokasi PLN Pulau Hiri di kelurahan Faudu), menggunakan kapal perang Torpedo milik Angkatan Laut Amerika Serikat jenis MBT 364 dan 178.[9] Bersama warga dari Pulau kecil ini pula, jejak operasi militer melepaskan Maluku Utara dari hegemoni Jepang dilakukan secara spektakuler. Mengapa harus Pulau Hiri? Secara geostrategi, Pulau Hiri memungkinkan karena beberapa alasan. Pertama, dari Morotai, Pulau ini berada pada wilayah diluar pusat komando Jepang yang berada di Utara Halmahera.
Posisi geografis seperti itu lebih memudahkan pasukan Sekutu untuk berlayar ke arah Barat Pulau Halmahera, dimana Pulau Hiri berada. Kedua, secara kultural, pulau Hiri adalah tempat hidup para loyalis Sultan yang sama-sama berkeinginan mengenyahkan Jepang dari tanah Maluku. Ini memudahkan tentara sekutu menjalin komunikasi dengan Sultan Ternate. Alasan ini juga mengapa sebagian besar pasukan Hulphroepen berasal dari penduduk yang mendiami Pulau Ternate, Pulau Hiri dan Pulau Halmahera bagian Barat. Ketiga, Hiri merupakan satu-satunya Pulau terdekat di bagian Barat Pulau Ternate yang jauh dari pos militer Jepang di wilayah pusat Kota Ternate.
Tidak ada yang menulis tentang sejarah kebangsaan pra-kemerdekaan di Pulau kecil bagian Timur Nusantara ini, selain sejumlah catatan-catatan pendek menyinggung hanya sambil lalu tanpa upaya lebih dalam mencari tahu peran Orang Hiri. Kesulitan menemukan dokumen-dokumen resmi berisi sejarah di Pulau Hiri di satu sisi membuka peluang akademis menyusuri lorong-lorong sejarah dari kerangka ilmu sosial. Pendekatan ilmu sosial memahami sejarah begitu penting, seiring perkembangan penulisan historiografi Indonesia yang membuka kesempatan luas kepada cakupan sejarah lokal dengan sumber “oral history” atau sejarah lisan dari masyarakat tertentu.[10] Melalui metode ilmu sosial, ingatan sejarah warga lokal yang menjadi saksi sebuah peristiwa besar dapat di manfaatkan sebagai batu lompatan menjejaki relasi, dinamika dan makna peristiwa sejarah. Saya menemui seorang saksi sejarah revolusi 1945 di Tomajiko, Pulau Hiri. Beliau menuturkan secara lisan (menggunakan bahasa Ternate) memori kelam kehidupan pada saat pendudukan Jepang;
“Japang ge ana kejam. Ana kajahatang gou-gou. Ngom sira ge ahu baso sengsara ne. Nage ana kalo salah, Japang mansibu tola. Japang na gulaha ge oho mai susah, pake pakeang mai susah. Waktu nage ge, mancia firi toma banga dofu, manyika fai guru kara mahiku toma guru”[11]
Artinya:
“Jajahan Jepang itu kejam. Mereka benar-benar jahat. Dulu kehidupan kami sangat sulit. Jika kedapatan seseorang warga lokal dinilai salah, atau berlawan, maka tidak segan-segan Jepang akan membunuh dengan Samurai. Akibat ulah Jepang, kami susah mendapat pasokan pangan. Pakaian juga susah karena semua telah dikontrol Jepang. Waktu itu, banyak orang mengungsi di hutan/kebun, sebagian bersembunyi di lubang-lubang bawah tanah yang disebut Lofra”[12] (terjemahan bebas dari saya).
Masa pendudukan Jepang telah merubah struktur dan polarisasi masyarakat secara menyeluruh. Organisasi perkumpulan masyarakat dibatasi, distribusi bahan pangan harus melalui izin Jepang, serta hasil panen harus dibagi 30 persen kepada Jepang.[13] Pengelolaan kebun di desa-desa tetap dilakukan dibawah pengawasan tentara Jepang. Teror fisik dan psikis menjadi penyakit mematikan bagi kebebasan warga lokal.
Ketika Abdul Basir dan sebagian pasukan Hulphroepen sedang dalam masa pelatihan kemiliteran di Morotai, polisi militer Jepang (Manseibu) mendatangi desa Tomajiko dan berencana menangkap istri dan anak-anak Abdul Basir untuk dibawakan ke lokasi eksekusi di Ternate.[14] Pada masa itu, seluruh kehidupan warga desa selalu diawasi oleh orang-orang khusus yang dipercayakan Jepang. Informasi mengenai kedatangan Jepang diketahui oleh masyarakat di Soa Faudu, desa kelahiran Abdul Basir. Sesegera dengan gagah berani dilandasi jiwa perlawanan, puluhan orang Faudu datang ke desa yang sama membawa peralatan perang tradisional; Parang dan Salawaku. Mereka akan melindungi seluruh keluarga Abdul Basir dari upaya penahanan Jepang. Alija Tata mengisahkan heroisme dan ketegangan ini sebagai berikut:
“Mancia Faudu ana barani gou-gou. Kama gulfino ua. Waktu ge ana tete ne dia Morotai. Japang hado kane sari coho ma fuheka se mangofa gasa sidara. Mancia Faudu ise habar ge si ana ino nau sema nyagi gugu peda simoi. Ana tego ge toma sigi mangara ge, Japang hida ana ge japang gulfino. Coho Abdul Basir ma fuheka se ma ngofa dadi ua. Ana japang kureho sidara.”
Artinya;
“orang Faudu itu mereka sangat berani. Tidak ada rasa takut. Saat itu Abdul Basir sedang berada di Morotai, lalu pasukan Jepang datang di desa ini (Tomajiko) hendak menangkap istri dan anak-anak Abdul Basir. Begitu informasi ini diketahui orang Faudu, mereka segera datang berkumpul di depan Masjid memegang pedang. Ketika tentara Jepang melihat loyalis Sultan berkumpul, timbul rasa takut dalam diri mereka. Rencana penangkapan istri dan anak-anak Abdul Basir dibatalkan. Mereka (Jepang) kemudian kembali ke Ternate tanpa membawa apapun”
Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik) sebagai peristiwa Perang Dunia II bermula dari upaya Jepang melancarkan hegemoni politik di wilayah Asia membawa ideologi Fasisme yang dibantu Jerman dan Italia. Jepang melepaskan serangan bom di Pearl Harbor, Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Hawaii pada 7 Desember 1941.[15] Pada hari berikutnya, Amerika mendeklarasikan perang dengan Jepang. Sekutu Jepang (Jerman, Italia) kemudian menyatakan Perang dengan Amerika.
Perselisihan antar negara-negara besar pada masa Perang Duni II ini berdampak hingga di Pulau Hiri yang menewaskan Abdul Basir, pemberani dan loyalis setia sultan Ternate dari Soa Faudu. Setelah perjuangan tersebut, hingga saat ini tersimpan sebuah naskah klasik beraksara Arab-Ternate, atau yang kita kenal sebagai huruf pegon. Tulisan berhuruf Arab, tetapi bunyi bacaan Ternate.
Satu langkah dokumentasi sejarah yang dilakukan warga lokal bernama Hasan Sehe (Tete Cang) dari Soa Faudu. Ia menulis dalam genre sastra klasik Ternate hasil didikan lembaga Pangaji. Tete Cang memberi judul tulisannya itu; “Tamsil Kejadian Ternate”.[16] Tidak lain merupakan sebuah narasi sejarah Perang Dunia II dari perspektif warga lokal dimana Abdul Basir sebagai tokoh utama dibalik naskah tersebut. Secara mumpuni, naskah ini memberi petunjuk sumber sejarah yang tidak melulu berpatokan pada catatan-catatan kolonial atau arsip dan dokumen yang jauh dari campur tangan pelaku sejarah lokal. “Tamsil Kejadian Ternate” bernilai epik, sebab merupakan naskah sejarah lokal berdimensi global yang ditulis langsung oleh pelaku sejarahnya sendiri di Pulau Hiri. Saya melihat naskah ini memuat jejak sejarah kebangsaan dan keluhuran nilai budaya penulisan (budaya literasi) yang pernah terjadi di Maluku Utara.
Sejarah dan Pengetahuan yang Tak Terkelola
Membicarakan soal sejarah sama artinya melacak identitas sosial, politik, agama, pendidikan dan budaya di Pulau Hiri. Studi tentang sejarah mengenai Pulau ini sudah sepantasnya didesain dari pelbagai perspektif ilmu pengetahuan. Geologi, Arkeologi, Sosiologi, Antropologi, sastra, linguisitk, pendidikan agama, dan sejumlah disiplin yang mempelajari kehidupan dan perilaku manusia masa lalu, keberlanjutannya hari ini dan kemungkinan masa akan datang. Fakta kemajukan dan polarisasi masyarakat Hiri dibawah struktur sosio-politik dan budaya kesultanan Ternate sebetulnya sebagai jalan kemungkinan paling besar untuk dijejaki dengan keberagaman perspaktif di atas.
Seiring cita-cita bersama menjadikan Pulau ini sebagai destinasi wisata alam, sejarah, budaya, religius, maka pengelolaan Pulau ke arah keberlanjutan masyarakat dan keseimbangan lingkungan menjadi penting. Dalam sejarahnya, dinamika kehidupan orang Hiri tidak terlepas dari dua kekuatan struktur yang bertahan hingga sekarang ini. Kekuatan pertama berasal dari struktur negara tradisionasl kesultanan. Sementara kekuatan lain dari institusi modern pemerintah pasca kemerdekaan 1945. Secara sosiologis, kekuatan ini sejak dulu memberi implikasi sosio-antropologis berserta nilai-nilai hidup yang melandasi praktek keberagaman dan dinamika kehidupan sosial.
Pulau Hiri kaya akan sejarah. Di bidang sosial-keagamaan misalnya, terdapat lembaga Pangaji yang mencerminkan identitas dan praktek beragama di kepulauan Timur Indonesia. Melalui studi atas Pangaji, kita bisa membongkar secara mendasar ternyata terdapat khazanah budaya literasi di Pulau ini. Tesis bahwa orang Maluku Utara tidak memiliki budaya menulis dapat “terbantahkan” dengan kehadiran manuskrip dan lefo yang masih tersimpan para tetuah. Budaya literasi berkaitan dengan Penulisan Aksara Pegon, dan metode baca huruf hijaiyah sebagai wujud pengetahuan lokal bernilai tinggi.[17] Dengan studi Pangaji, sejarah diterangkan melibatkan peran kesultanan sejak era Sultan Zainal Abidin Sjah pada tahun 1500.[18]
Studi Pangaji akan membuka jejaring luas mengenai cara-cara pengawetan praktek Islam melalui pendidikan keagamaan yang khas kesultanan Ternate. Sebab fakta hari ini, pendidikan Pangaji sudah tidak lagi menjadi “pedoman” sejalan kemunculan metode pendidikan modern yang penuh syarat formal-administratif. Kita kehilangan pendidikan kebudayaan daerah ini. Pelbagai Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan serta Perda tentang kebudayaan ternyata tidak banyak memberi dampak sosio-budaya bagi kehidupan generasi.
Pada masa Sultan Iskandar Muhaammad Djabir Sjah, pendirian Pangaji di Pulau Hiri dilakukan secara massif. Ini dibuktikan dengan sejarah Pangaji di Soa Dorari Isa melalui seorang tokoh Muballig Arab bernama Habib Thoha Bin Muhammad Albaar, yang keramatnya saat ini berada di Dorari Isa.[19] Habib ini datang ke Pulau Hiri atas perintah sang Sultan untuk menyerukan pendidikan keagamaan dan pengawetan tradisi Pangaji. Melalui cerita ini, ada kekuatan struktur tradisional kesultanan yang ikut mengintervensi dan mengkonsolidasikan gerakan kebudayaan Pangaji. Suatu kebijakan kebudayaan Sultan yang hampir tak ditemukan pada zaman sekarang. Padahal, di zaman ini terdapat dua struktur yang melembaga dan menaungi masyarakat tempatan, yaitu Struktur adat dan struktur pemerintah. Kecenderugan ini berlaku hampir di seluruh wilayah Kota Ternate, Maluku Utara.
Khazanah budaya di Pulau Hiri bahkan dapat ditelusuri melalui studi arkeologi terhadap Jere atau karamat. Melalui Jere/karamat, dapat merekonstruksi kehidupan masyarakat di masa lalu, terutama berkaitan dengan bentuk-bentuk penyiaran Islam, bagaimana proses migrasi masyarakat Islam ke Pulau Hiri, serta bagaimana tradisi keislaman di kesultanan Ternate pada masa tertentu. Studi Jere dengan praktek ziarah yang biasa dilakukan warga lokal di satu sisi menjadi nilai sosial di dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Secara tidak langsung, melalui pengawetan tradisi ziarah Jere, masyarakat diajak untuk menjaga alam yang menjadi bagian inheren dari unsur kehidupan masyarakat tempatan. Sayangnya, hingga saat ini belum ditemukan penelitian serius Arkeologi mengenai jere atau karamat yang mengungkapkan kekayaaan sejarah dan budaya, khususnya pada masyarakat sejarah di Pulau Hiri.
PENUTUP
Secara sosio-antropologis, orang Hiri adalah tipe masyarakat multikultur. Terlibat dalam perjuangan kebangsaaan sejak masa-masa jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Adalah suatu harapan besar generasi Pulau Hiri bahwa sudah sepantasnya pembangunan Pulau ini ditata berdasarkan studi-studi yang terencana dan terukur. Tidak boleh membangun asal-asalan sebagaimana watak birokrasi yang tercermin di hari-hari belakangan ini. Bagi saya, Pulau Hiri berisi warisan sejarah dunia dan identitas nasional yang sama sekali belum terkelola dengan baik. Sebab untuk mendapatkan hasil demikian, dibutuhkan kerja sama semua kalangan, dari pemerintah, masyarakat, lembaga kesultanan hingga organisasi non-pemerintah. Sebagai pengingat, jika pembangunan Pulau Hiri hanya tercermin pada wacana-wacana pendek pada saat momen-momen politik praktis, sebagaimana yang terjadi saat ini, kita akan sangat sulit membangun Pulau ini ke arah yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. 2008. Insist Press dan Pustaka Pelajar
Abdul Basir, Sultan Djabir dan MacArthur; Memoar Luka Perang Dunia II di Pulau Hiri. Dalam https://www.cermat.co.id/abdul-basir-sultan-djabir-dan-macarthur/. Akses 9 Agustus 2024
Hasil Riset Yayasan Pustaka Pangaji ; Monumen Kebudayaan yang Terancam Punah (2022
Henk Schulte Nordholt, dkk [Editor]. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/world-war-ii-in-the-pacific. Akses 9 Agustus 2024.
https://historia.id/militer/articles/sultan-ternate-diselamatkan-jenderal-macarthur-vg8oX. Akses 9 Agustus 2024
Riwayat Pengusiran Sultan Baabullah Terhadap Portugis di Nusantara”. Dokumen Pengusulan Sultan Baabullah Sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia, 2020.
Rustam Hasim. Kesultanan Ternate pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Jurnal Ilmu Budaya. Volume 11, Nomor 2, Tahun 2023.
Sidego Pangaji: Oase Peradaban yang Kini Memudar. Dalam https://www.halmaheranesia.com/2023/08/07/sidego-pangaji-oase-peradaban-yang-kini-memudar/. Akses 9 Agustus 2024
Percakapan bersama saksi sejarah 1945, Alija Tata, 2024
Percakapan bersama tokoh adat kesultanan Ternate, 2024
[1] Materi disampaikan pada kegiatan “Seminar Sejarah Pulau Hiri” sebagai agenda integral “Expo Kuliner dan Wisata Pulau Hiri” yang dilaksanakan oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Pulau Hiri, 10 Agustus 2024.
[2] Baca “Riwayat Pengusiran Sultan Baabullah Terhadap Portugis di Nusantara”. Dokumen Pengusulan Sultan Baabullah Sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia, 2020.
[3] Simbolisasi dari struktur ini tergambarkan melalui posisi perahu kora-kora disetiap ritual kololi kie mote ngolo (tradisi keliling gunung Gamalama lewat jalur laut) yang dilakukan di kesultanan Ternate. Perahu Kora-kora Soa Dorari Isa di posisi paling depan (dijuluki Kaso Mahema), perahu Juanga yang memuat Sultan berada di belakang perahu pasukan Dorari Isa. Soa Mado mengapit perahu Sultan di samping kanan, Soa Togolobe di samping Kiri. Di belakang Juanga Sultan ada kora-kora Soa Faudu, lalu di belakang Soa Faudu terdapat kora-kora Soa Tomajiko. Semua posisi kora-kora dari Lima Soa itu memiliki fungsi dan tugas masing-masing pada saat menjalankan misi peperangan di jalur laut.
[4] Disadur dari percakapan bersama salah satu tokoh adat di Kota Ternate pada bulan Ramadhan 1445 Hijriah
[5] Untuk pemahaman lebih utuh mengenai bangsa (nation), Lihat Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. 2008. Insist Press dan Pustaka Pelajar
[6] Dari segi etnisitas, masyarakat Pulau Hiri adalah hasil migrasi dari orang keturunan pelbagai etnis di Maluku Utara. Di Soa Tomajiko, terdapat keturunan dari Mangoli (Waitina) bermarga Umasangaji, di Faudu ada keturunan Makian dan Sula. Di Togolobe, ada Idammadehe dari Jailolo, di Dorari Isa terdapat orang berketurunan Tidore bermarga Marasabesy dan juga menjalin relasi kekerabatan yang sangat erat bersama masyarakat di desa Payo, Bobo dan Saria di kabupaten Halmahera Barat. Sedangkan menurut cerita rakyat setempat, muasal orang Mado adalah terdapat orang keturunan dari Arab (mereka menyebut Bogadad, yang sepadan dengan Baghdad dari Irak). Karamat Mado dipercayakan sebagai makam orang Auliya, penyiar Islam dari Arab. Dengan adanya keterangan seperti ini, dapat berarti bahwa Masyarakat Hiri adalah tipe masyarakat multikultur yang meng-imajinasi-kan nilai-nilai kolektif dalam satu kesatuan politik dibawah lembaga kesultanan Ternate.
[7] Hulphroepen merupakan tentara bantuan dari kalangan rakyat bentukan NICA atau pemerintahan sipil Hindia Belanda sejak 1944 di Morotai. Jika Jepang merekrut bekas tentara KNIL menjadi tentara bantuan mereka yang disebut Heiho (Hasyim, 2019) maka Sekutu menamakan pasukan bantuan mereka itu sebagai Hulphtroepen (Amal, 2010).
[8] Baca; Abdul Basir, Sultan Djabir dan MacArthur; Memoar Luka Perang Dunia II di Pulau Hiri. Dalam https://www.cermat.co.id/abdul-basir-sultan-djabir-dan-macarthur/. Akses 9 Agustus 2024
[9] Baca https://historia.id/militer/articles/sultan-ternate-diselamatkan-jenderal-macarthur-vg8oX. Akses 9 Agustus 2024
[10] Lihat, Henk Schulte Nordholt, dkk [Editor]. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[11] Percakapan bersama saksi sejarah 1945, Alija Tata, awal Juli 2024 di rumahnya samping Masjid Nurul Aminin, Tomajiko, Pulau Hiri. Beliau adalah menantu Abdul Basir, tokoh kunci pasukan Hulphtroepen asal Hiri, yang tertembak dalam pertempuran di Pulau Hiri melawan Jepang tanggal 10 April tahun 1945.
[12] Lofra merupakan lubang persembunyian warga pada masa pendudukan Jepang. Di Pulau Hiri saat ini terdapat sebuah bekas Lofra, tepat di belakang Masjid Togolobe. Berdasarkan informasi yang saya himpun dari masyarakat, Lofra di belakang Masjid ini digali bersamaan pada saat-saat penyelamatan Sultan Djabir Sjah berserta keluarga ke Pulau Hiri tahun 1945.
[13] Lihat, Rustam Hasim. Kesultanan Ternate pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Jurnal Ilmu Budaya. Volume 11, Nomor 2, Tahun 2023.
[14] Istri Abdul Basir bernama Bansa Usman. Sedangkan anak-anak diantaranya; Abatu A. Basir, Onci A. Basir, Djafar A. Basir.
[15] Dalam https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/world-war-ii-in-the-pacific. Akses 9 Agustus 2024.
[16] Naskah klasik beraksara Pegon ini diberikan kepada saya oleh seorang ahli waris naskah bernama Hi. Harun N. Tomahir di Kelurahan Sangaji Utara, Kota Ternate.
[17] Pada tahun 1990-an akhir, saya masih dapat melihat langsung kemahiran seorang Khalifa di Pulau Hiri yang menulis aksara pegon. Khalifa itu bernama Radjab Abdullah, atau biasa disapa Tete Jabu. Beliau salah satu alumni Pangaji yang dihormati karena kemahiran tersebut. Saat ini, kita sudah sulit menemukan orang yang mahir menulis aksara pegon seiring memudarnya lembaga pendidikan tradisional Islam Pangaji di wilayah bersejarah ini.
[18] Baca, Sidego Pangaji: Oase Peradaban yang Kini Memudar. Dalam https://www.halmaheranesia.com/2023/08/07/sidego-pangaji-oase-peradaban-yang-kini-memudar/. Akses 9 Agustus 2024
[19] Baca hasil Riset Yayasan Pustaka Pangaji ; Monumen Kebudayaan yang Terancam Punah (2022).