Menyibak Problem Kepemudaan
*Abdullah Totona
Suatu sore, Palagia Vlassov yang baru dua minggu ditinggal pergi suami, Michail Vlassov (meninggal) mendapati anaknya pulang ke rumah dengan kondisi mabuk berat. Dengan kondisi mabuk, Anak muda itu memukul dataran meja, lalu berucap buatlah aku gembira ibu—dia adalah Pavel Vlassov anak seorang buruh pabrik—mengubah dirinya untuk terlibat dalam akitivis politik, menggerakan perlawanan terhadap kesemena-menaan para majikan dan penguasa di era Tsar (Rusia).
Demikian sepenggal kisah yang dituturkan Maxim Gorky dalam novel Ibunda. Dari cerita di atas dapat ditilik pada dua hal yang kerap dialami anak-anak muda saat berada dalam ruang kehidupan, yakni ‘patuh pada situasi’ atau ‘Berkarya menggerakan impiannya menjadi nyata’. Hal ini pula yang dialami pemuda-pemuda kala Indonesia masih bernama Hindia-Belanda. Mohamad Hatta dan Sutan Sjahrir misalnya, memilih berada pada posisi kedua. Hatta di buang ke pulau Banda setelah pengasinganya dari Boven Digul.
Hal yang serupa pula yang dialami Sjahrir—Ia pun dibuang bersamaan dengan Hatta oleh kolonial Belanda ke pulau Banda. Alasannya, mereka dianggap subversif, memberontak dan membahayakan kekuasaan Belanda yang waktu itu tengah menancapkan kakinya dalam-dalam di Tanah Nusantara.
Mungkin, bila Hatta dan Sjahrir sama-sama tidak memilih melawan pada situasi dan memilih berada pada poin pertama, maka tentu mereka tak akan merasa perih dan nikmatnya dunia pengasingan itu. Namun, sejarah, gagasan dan praktik yang mereka dapati sekaligus disuntikan dengan semangat dan kesadaran untuk memikirkan nasib masyarakat, terutama kemerdekaan bangsa Indonesia, maka kemerdekaan pribadi pun ditanggalkan; rela dipenjara, dipisahkan dari keluarga dan sebagainya.
Dengan demikian Pemuda bukanlah objek untuk dieksploitasi (dipakai) demi maksud-maksud mereka yang tengah mau berkuasa, melainkan pemuda harus berani melawan situasi yang memperpuruk keadaan ekonomi, budaya, sosial dan politik di masyarakat. Pemuda perlu terus-menerus berkarya, membangun kesadaran dan tentunya meletakkan nilai humanisme di akal pun hati, agar energi dirinya dapat dipakai untuk kepentingan sosial-budaya.
Sebelum lebih jauh memaknai siapa yang dapat disebut sebagai pemuda. Ada baiknya dipaparkan terlebih dahulu kategori pemuda yang dimaksud dalam tulisan ini. Pemuda adalah mereka yang masih bersemangat dan bergelora atas sebuah impian perubahan ke arah yang lebih baik. Dan asumsi itu, maka ada tiga hal yang menjadi ukuran, yakni Sejarah, Gagasan dan Praktik. Pada sejarah kita bisa melihat relasi kekuasaan pada pemuda dengan institusi-institusi dan lembaga-lembaga yang membentuk dirinya.
Penciptaan atas sejarah selalu berhubungan dengan posisi pemuda untuk menentukan arah hidupnya. Namun pula sering didapati pemuda selalu berada di antara dua kutub yang saling bersitegang. Pada posisi pertama ia sering dipakai dimanfaatkan guna memperkuat suatu kekuasaan. Dan pada sisi lain, ia kerap berdiri pada keberpihakannya untuk warga yang dirugikan atas nama apa saja. Semangat Keindonesiaan dan semangat etnis, misalnya.
Bisa dikatakan bahwa gagasan atau ideologi atau kepentingan dapat tersalurkan lewat lembaga-lembaga atau institusi-institusi yang digerakkan oleh orang tertentu, membentuk cara pandang yang dianggap benar (ukuran aktor), lalu berubah menjadi rasa benci dan tak percaya di antara pemuda yang satu dengan yang lain, sejauh yang lain bukan berada dalam satu barisan atau lembaga tertentu. Akhirnya kebencian atas nama etnis dan agama yang satu dengan yang lain tak bisa dihindari, atau pula lembaga yang satu dengan yang lain saling menganggap diri benar hingga memicu rasa saling curiga.
Sementara pada tahap praktik, kita bisa melihat bagaimana tindakan-tindakan kekerasan secara mental dilakukan, represif dan benturan fisik dari pemuda-pemuda. Hal ini terjadi tak sekedar dadakan, melainkan terakumulasi dari sejarah dan juga gagasan yang terpatri dari ruang tempat berprosesnya pemuda itu. Kerap hal ini membuat pemuda mengakhiri hidupnya dalam kemabukan atas diri dan kelompoknya tanpa keluar dari lingkaran itu.
Dengan begitu, kita perlu merubah cakrawala diri dan pikir kita dari semangat atas nama etnis, kelompok, agama dan wilayah, ke cara padang atas nama kemanusiaan dan masyarakat yang perlu dipatrikan dalam diri. Sebab pemuda sebagai pemantik bagi perubahan diri yang lebih baik. Tak harus terjebak pada pola kehidupan yang sempit dan berpikir sendiri, tapi jadilah aktor yang menggerakan segala hal yang dianggap baik, seperti halnya yang dialami Pavel Vlassov, pun Hatta, Sjahrir yang berpikir dan bertindak atas nama kemanusiaan.
*Pegiat Humaniora