Falajan.com
Beranda Telaah Orientasi Sufisme di Nusantara

Orientasi Sufisme di Nusantara

Keberhasilan Islam menjadi agama terbesar di Indonesia, tak
terlepas dari pola penyebarannya. Islam adalah agama yang datang belakangan,
namun demikian Islam membuka diri untuk kebudayaan setempat, dari pada harus
menggusur dan terbukanya ruang konfrontasi secara fisik dengan penduduk lokal.
 
Pola demikian berhasil mendekatkan penduduk lokal dengan
Islam. Misalkan di Jawa, ajaran
Hindhu-Budha yang telah lama dipeluk mayoritas masyarakat selama berabad-abad,
mulai tergeser dengan keberadaan Islam
 . Meskipun
demikian, kebudayaan yang telah mengakar kuat itu, tak mudah dirubah.
  Kita masih
menyaksikan
hingga kini, kebiasaan memberi sesaji (selamatan)
kepada leluhur atau tempat tertentu yang dianggap keramat.
 ( Baca:Azyumardi Azrah
: Peran Dakwa Damai)
Prinsip kebudayaan Jawa yang mengutamakan kehidupan harmoni dan slamet,
berbanding lurus dengan ajaran Islam yang disampaikan Wali Songo melalui
tarekat atau tasawwuf. Kedua hal itu mengajarkan ketenangan batiniah,
keharmonisan hubungan dengan alam semesta dan kedekatan hati dengan sang
Khaliq. 
Tarekat dan budaya Jawa tidak berada dalam posisi berlawanan. Justru menurut Nur Syam, keduanya bersifat
simbiosis-mutualistik sehingga membentuk budaya khas, yaitu agama kaum sufi
(tarekat).
  Maka tak mengherankan sejak abad ke-16 dan
17, tarekat telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Nusantara. 
Tarekat yang berkembang saat itu antara
lain tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Syattariyah, Khalwatiyah, Samaniyah
dan Alawiyah
. (Baca Tarekat Petani, Fenomena Tarekat Sattariyah)
 
Corak kehidupan paguyuban sufi itulah yang mewarnai perjalanan sosial
Islam di Nusantara. Hal itu berimplikasi terhadap beragamnya praktik keagamaan
masyarakat
,. Pasalnya, tarekat cenderung
melokal dengan masyarakatnya tetapi memegang teguh prinsip-prinsip dasar agama,
seperti Tauhid, Nubuwah, Keadilan, Sholat, Ma’ad atau hari kebangkitan, dll.
 
Seperti telah disebutkan di atas, perkembangan Islam di
Nusantara sejak awal lebih dipengaruhi oleh sufisme. Banyak
nama yang bisa disebut sebagai tokoh-tokoh
sufi lewat karya-karya
tasawwuf mereka masih dapat kita temui, seperti Hamzah al-Fansuri, Syams al-Din
al-Sumatrani, ‘Abd al-Rauf as-Sinkili, Yusuf al-Makassari, dan ‘Abd Shamad
al-Palimbani. Tasawwuf di Nusantara
disinyalir terpengaruh dengan gagasan Wahdatul
Wujud
Ibn ‘Arabi dan Wahdatul Syuhud Imam
Al-Ghazali.
 
Bukankah kita juga begitu kuat merasakan corak sufisme dalam keberagamaan di Maluku Utara? Bahkan jika kita
menelusuri kampung-kampung, akan menyaksikan bahwa betapa tasawwuf begitu dekat
dengan orang-orang Maluku Utara. Agama Islam di Maluku Utara, terutama Ternate
dan Tidore sering ditasbihkan sebagai negeri religius yang
kuat mendalami ajaran tasawwuf dan tarekat.
 
Secara umum, Islamisasi di Maluku Utara, terutama Ternate
lebih dikenal pada masa sultan Zainal Abidin (1486-1500 M). Pada masanya
nilai-nilai Islam mulai diterapkan sebagai asas-asas kerajaan dan masyarakat
secara luas.
 
Sebagaimana di pulau-pulau Nusantara lainnya, Islamisasi di
kepulauan rempah-rempah ini juga mengambil bentuk sufisme seperti kesultanan
Ternate maupun Kesultanan Tidore. Kepulauan rempah ini menemukan karakter
religiusitasnya dalam ajaran-ajaran tasawwuf dan tarekat yang disebarkan oleh
para mursyid-mursyid tarekat.
 
Praktik tarekat di Maluku Utara dapat dibilang masih minim
perhatian. Khazanah pengetahuan berbasis tarekat belum mendapat tempat di hati para
pemerhati sosial dari pada kajian-kajian sosial-ekonomi. Akhirnya, sejarah
Maluku Utara lebih menampilkan kebesaran militerisme orang-orang pulau,
ekspansi ekonomi, dan kolonialisme.
 
Keberadaan tassawwuf sebenarnya tidak hanya merambah wilayah
agama, tetapi juga model pandangan dunia yang lebih luas. Itu sebabnya, jika
kita memeriksa secara saksama, diaspora para sufi ke pelosok-pelosok Nusantara,
maka kita menemukan tatanan masyarakat religius. Hal inilah yang membedakan
dengan diaspora orang-orang Eropa ke Nusantara sebagai ekspansi imperialisme.
 
Islam sufisme yang cenderung melokal, dapat juga dilihat pada
pengaruh model penafsiran para elit-elit kerajaan Ternate (dan mungkin juga
Tidore, Bacan, dan Jailolo).  Pandangan
tentang alam semesta, manusia, juga Tuhan, merambah dalam kesusastraan orang
Ternate, semisal Dola Bolo, Dalil Moro, Dalil Tifa, Tamsil, Rorasa. Cum-Cum, juga mantra.
 
Pengaruh tasawwuf dan majelis-majelis tarekat di Maluku Utara
masih dapat kita temui hingga kini. Di Ternate tidak seperti sebelumnya yang
cenderung eksklusif (tertutup) bahkan tidak hanya dilakoni oleh kalangan tua
tetapi juga telah menarik kalangan muda. Hal ini tidak terlepas dari peran
paguyuban-paguyuban sufi atau tarekat yang membentuk jaringan keilmuan.
 
Beberapa nama tarekat yang telah kita sebutkan di atas juga
memiliki mursyid dan majelis-majelisnya di Ternate. Untuk melacak arus
persebaran tasawwuf dan tarekat di Maluku Utara, terutama Ternate dan Tidore,
kita dapat meniti melalui jalan tarekat itu sendiri. Hal ini karena model
pengajaran yang masih menggunakan model tradisional. Pada satu guru atau mursyid kita dapati beberapa ajaran
tarekat, tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah, Alawiyyah, dapat kita temui pada satu mursyid, bahkan juga tarekat Rifa’iyyah,
Sathariyah, Samaniyah.
 
Dua Sentral Isu
Tasawwuf
 
Pendeknya, melalui tasawwuf dan paguyuban-paguyuban sufi
agama menunjukkan kohesi sosial, sebuah pertemuan arus besar (agama) dan arus kecil
(budaya lokal) yang saling memberi ruang satu sama lain dan menghidupkan bukan
benturan saling menegasikan. Ini adalah modal sosial yang perlu dipupuk.
 
Tuhan, ini adalah isu pertama dan sentral
dari ajaran-ajaran tasawwuf dan tarekat. Pertama-tama tasawwuf menyadarkan
manusia, sebagai sumber kehidupan segala yang ada, atau pandangan dunia
ilahiyah. Dengan kerangka epistemologinya, Tuhan atau hakikat segala sesuatu
dapat dicapai (paling tidak dihampiri) dengan sejumlah disiplin dan teknik
sebagaimana dilakoni dalam paguyuban-paguyuban sufi atau tarekat. Puncak
pencapaian sang salik (pejalan
ruhani) dalam suluk (jalan ruhani)
adalah maqom fana dalam diri Tuhan,
yakni meleburnya diri entitas individualisme manusia ke dalam keberadaan Tuhan.
 
Pengetahuan tentang Tuhan atau pengalaman mengalami yang Ilahi setelah itu diekspresikan
sedemikian rupa. Hampir di setiap para ahli tasawwuf memiliki bentuk tersendiri
dalam pengungkapkan pengalaman religius. Maulana Jalaluddin Rumi
mengungkapkannya dengan suara nei (seruling),
puisi, syair dan juga qasidah, Ibn Arabi cenderung mengungkapkannya dalam
rumusan-rumusan filosofis-mistis yang rumit, semisal Wahdatul Wujud-nya yang
terkenal itu. Imam Al-Ghazali dengan Wahdatul Syuhud atau tasawwuf akhlaki.
 
Kemanusiaan, isu kedua dalam tasawwuf berkaitan
erat dengan ajaran-ajaran agama, yakni isu-isu keduniawian dan kemanusiaan.
Bahkan kesufian lebih ditandakan dengan khidmat kepada manusia. Dengan ini
urusan kewalian atau tingkat intensitas
kesadaran spiritualitas yang dijalani seseorang mestinya diukur dari akhlaknya,
bukan hanya akhlak individualnya tapi akhlak sosialnya.
 
Terkait dengan ini, ada sebuah cerita tentang sufi, ahli
tasawwuf. Cerita sufi ini saya pungut dari tulisan Haidar Bagir: 
“Seorang sufi bernama abu Said al-Kirbaid didatangi para
pengikutnya. Tiga di antaranya berkata pada beliau. Orang pertama, berkata:
“Wahai syeikh, si fulan bin fulan itu bisa terbang di udara.” Abu Said dengan
singkat menjawab: “Burung jauh lebih pintar.” Kemudian muridnya yang kedua
berkata: “Wahai syeikh, si fulan bin fulan dapat berada di beberapa ruang
sekaligus.” Sang syekh pun hanya menjawab: “Syetan jauh lebih pintar.” Syetan
tidak terikat ruang dan waktu, jadi dia dapat berada di beberapa tempat
sekaligus. Kemudian orang ketiga berkata: “Apa tandanya seseorang itu sufi?”
“Apa tandanya orang yang dekat dengan Tuhan (karenanya selalu mengalami
perjumpaan ilahiah)” Abu Zaid al-Kirbai menjawab: berkhidmat kepada
kemanusiaan.”
 
Dalam cerita lain, “suatu ketika seorang sufi besar,
Ibrahim bin Adham, bermimpi berjumpa dengan sosok malaikat yang memangku
lembaran. Ibrahim bin Adham bertanya pada sang malaikat perihal lembaran apa
yang dibawanya. Sang malaikat menjawab bahwa lembaran tersebut berisi daftar,
yaitu daftar orang-orang yang Tuhan cintai. Syeikh Ibrahim penasaran, lalu
meminta izin sang malaikat untuk membaca setiap nama yang tercantum dalam
lembaran tersebut. 
 
Namun betapa pun ia adalah seorang sufi besar, namanya sama
sekali tak tercantum. Sembari menerima kenyataan dirinya tidak termasuk orang
yang Tuhan cintai, Ibrahim bin Adham meminta sang malaikat mencatat namanya
sebagai pecinta manusia. 



Pada malam selajutnya Ibrahim bin Adham kembali
bermimpi bertemu kembali dengan sang malaikat yang ternyata masih membawa
lembaran, namun berbeda dengan lembaran di mimpi sebelumnya, kali ini berisi daftar
orang-orang yang mencintai manusia, dan namanya berada di urutan
terakhir”.

 

Penulis: Rahmat Mustari
 
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan