Falajan.com
Beranda Telaah Pangaji: Merawat Ilmu, Membentuk Fael (Bagian I)

Pangaji: Merawat Ilmu, Membentuk Fael (Bagian I)

Selasa, 04 Maret 2024. Embun pagi belum juga kering. Sosok tua berusia 93 tahun bersiap depan rumahnya. Raut seperti tak lagi bersabar menghadiri suatu acara yang akan mengoyak ingatan masa lalu. Orang-orang mulai datang, lantunan qasidah dari soundsystem terasa merdu di telinga. Kursi-kursi tertata rapi di bawah tenda. Sementara sebagian ibu-ibu berjibaku dengan gempulan asap di dapur, sebuah tong (dolo-dolo) dari bambu menggelantung sunyi tepat di samping sebuah papan bertuliskan Pangaji Baba Lifa, yang diawali tulisan beraksara pegon (Arab-Ternate).

Pada hari itu, hari bersejarah bagi masyarakat Pulau Hiri, terutama di Soa Tomajiko, karena untuk pertama kalinya diresmikan lembaga pendidikan Pangaji berukuran luas (Panjang 9 meter, lebar 6 meter) oleh perwakilan Kantor Kementerian Agama Kota Ternate. Di tengah derasnya benturan life style yang menghardik zaman keemasan, orang Tomajiko membangun lembaga pendidikan tradisional dengan kekuatan modal sosial dan sedekah para hamba. Warisan Sultan Zainal Abidin Sjah (1486-1500) ini sebelumnya pernah ada di Tomajiko, namun dalam ukuran yang sangat kecil. Kali ini dibuat agak besar, dimana bahan-bahannya (kayu dan rumbia) di datangkan dari Pulau Halmahera.

Gerakan ini dipelopori anak-anak muda melalui pengurus Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Nurul Aminin. Tujuh tahun sebelumnya, pemuda di Soa Dorari Isa telah memprakarsai pembangunan Pangaji Nunako Diri (Mengenal diri). Kini, bahan-bahannya lapuk termakan usia, dan Pangaji yang terbuat dari bambu beratapkan rumbia itu telah runtuh berkeping-keping. Informasinya akan ada pembangunan baru Pangaji Nunako Diri di depan Masjid Asyuhada, Dorari Isa.

Generasi Tomajiko memetik inspirasi dari pemuda kampung tetangga, Dorari Isa, yang lebih dulu menghadapi segala tantangan dan cobaan mendirikan tempat baca tulis Al-Qur’an, dan pembelajaran menurut ajaran tetuah Ternate. Pangaji menjadi penting karena multi-fungsi dari keseluruhan sistem pengajarannya yang khas. Bukan sebatas mendidik anak-anak menghafal dan mengenal huruf hijaiyah, melainkan ikut memproteksi pertumbuhan karakter dan mentalitas generasi.

Di saat menyampaikan pidato iftitah pada peresmian Pangaji Baba Lifa di Tomajiko,  Ketua ICMI Orwil Malut, Dr. Kasman Hi. Ahmad yang pernah meneliti mengenai Pangaji (2007) mengatakan dalam sejarahnya, Pangaji juga berperan sebagai simbol membendung penetrasi kolonialisme. Ini berarti luas, karena pangaji mengakomodasi fungsi politis melawan kejahatan, penjajahan, serta mencegah kebodohan dan kebutaan aksara.

Merawat Ilmu, Membentuk Fael/Memuliakan Guru

Polarisasi Islam di kawasan Timur Indonesia membuktikan bahwa Pangaji menjadi media utama penyiaran Islam, di samping Masjid, yang dikonsolidasi dibawah supremasi kesultanan Islam Moloku Kie Raha. Membicarakan peradaban Islam tanpa melihat Pangaji sebagai titik pijak hanya akan membawa kita pada kealpaan intelektual menelusuri dinamika panjang sejarah Islam di daerah ini.  Karl Popper menyebutnya The Poverty of Historicism. Dari Pangaji kemudian, ilmu-ilmu agama ditransfer ke masyarakat, lalu nilai-nilai adat yang membentuk fael (adab) dipahami sebagai fondasi relasi sosial.  Sebagaimana anjuran Islam, dua “perkakas” hidup ini tak bisa dilepaskan satu dengan lainnya.

Meskipun harus jujur saat ini spirit dasar Pangaji tergerus oleh gempuran perubahan relasi masyarakat seiring globalisasi di pelbagai bidang kehidupan. Kita sulit menemukan pola-pola “rasa hormat”  murid terhadap guru, ngofa ngaji terhadap khalifa. Saya harus tegaskan selain pengaruh perubahan relasi dalam keluarga dan lingkungan, memudarnya relasi-relasi sosial guru murid ala Pangaji dapat dilacak secara struktural melalui pertumbuhan lembaga TPQ. Hasil penelitian lembaga Pustaka Pangaji Kie Raha (2022) menemukan TPQ dengan metode Iqro, sejak pemerintah mendorong kehadirannya (terutama tahun 2000-sekarang) secara pelan-pelan menekan eksistensi lembaga Pangaji dengan kurikulumnya yang khas. Pangaji berada di ambang kepunahan.

TPQ menghadirkan peluang-peluang baru mengenal huruf hijaiyah dan memudahkan generasi mengakses tempat-tempat baca tulis Al-Qur’an. Tetapi pada waktu bersamaan mendepak anak-anak dari langgam unik ilmu Heja dan Rawa Juz Amma melalui metode  Al-Baghdadi dalam Pangaji. Sejak itu, reproduksi generasi Pangaji di kawasan bersejarah ini tidak lagi menjadi pilihan utama. Negara bahkan melakoni formalisasi kebijakan agama dimana TPQ diposisikan secara terintegrasi dibawah lembaga agama pemerintah. Ketidakhadiran Pangaji dalam perumusan kebijakan pemerintah bermuara pada kemunduran sistem Pangaji dan mentalitas generasi yang mengutamakan adab menghormati guru, yang, sangat dianjurkan di dalam ajaran Islam.

Dimensi lain temuan peneliti Pustaka Pangaji Kie Raha, bahwa institusi Kesultanan sebagai lembaga kultural-keagamaan di Moloku Kie Raha tergerus spirit dasar literasi Islam, sehingga fungsi politis kesultanan mengkonsolidasikan Pangaji secara kultural tak lagi menggema seperti dulu. Mirisnya, tidak ada kebijakan kebudayaan mengatur kurikulum pendidikan modern di Sekolah Dasar (SD, SMP, SMA) dan sederajatnya untuk memperkenalkan apa itu Pangaji. Dengan melihat Pangaji, kita sesungguhnya membongkar kompleksitas masalah pendidikan yang sedang berlangsung di negeri ini.

Faktor penting pendidikan Islam berpulang sepenuhnya pada hubungan antara murid dan guru. Imam Burhanuddin Ibrahim az-Zarnuji al-Hanafi membahas secara aspik relasi-relasi itu dalam kitab termasyurnya; Ta’lim al-Muta’allim. Menurutnya, hendaknya seorang murid harus dalam keadaan suci (berwudu) sebelum menuntut ilmu dihadapan gurunya. Terhadap siapa guru yang memberinya sedikit ilmu, maka seorang murid harus menganggap, dalam arti memuliakannya layak seorang ayah. Adab menuntut ilmu termasuk jangan menjorokkan kaki di depan kitab, bahkan tidak boleh meletakkan sesuatu barang di atas sebuah kitab yang dipelajari. Memuliakan guru berarti ikut menghargai anak-anak dan keluarga. Dalam sistem Pangaji, orang tua murid menyerahkan anaknya kepada khalifa/joguru untuk dididik mulai dari bersuci, sopan santun, hingga belajar ilmu-ilmu lain yang diberlakukan dalam Pangaji. Proses penyerahan anak disombolkan dengan tradisi Moku Madai, yang intinya bernilai sedekah untuk guru dengan harapan mereka menyerahkan seluruh perkembangan anak-anaknya kepada didikan sang guru  (lihat penelitian Pustaka Pangaji Kie Raha 2022)

Bila diperiksa, kitab Ta’lim Muta’allim tidak hadir secara literer di Pangaji. Namun, nilai utama kitab ini sudah tertanam lama dalam Lefo dan common sense orang Maluku. Adab menghormati seperti tidak boleh berjalan depan guru, tidak boleh duduk lebih tinggi dari guru, tidak boleh duduk di tempat duduknya, jangan banyak bicara, jangan bicara sebelum mendapat izin dari guru, dan perasaan lebih takut guru, sebagaimana ditulis Zarnuji, adalah fael yang sesungguhnya terjadi di dalam sistem Pangaji. Memang kenyataannya bahwa Ngofa ngaji dan khalifa tidak membaca kitab ini, akan tetapi mereka menghayati sepenuhnya adab menuntut ilmu dan memuliakan guru yang terdapat dalam literatur Islam bersangkutan.

Kitab ini menjadi maha karya Zarnuji yang wajib dipelajari para santri (ngofa ngaji) di Pulau Jawa (Dhofier, 1989). Menariknya, Ta’lim al-Muta’allim lahir dari ulama bermazhab Hanafi, tetapi dihayati dalam masyarakat yang mayoritas amaliahnya bermazhab Syafi’i. Di sini penting disebut bahwa secara formal, Indonesia memosisikan Mazhab Syafi’i sebagai dasar figh, konstruksi hukum syariat Islam. Namun, secara sosio-kultural, masyarakat Nusantara yang multi etnis telah lama menghidupkan seluruh keberbedaan pandangan Mazhab warisan empat imam besar; Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Hanbali, tanpa menganggap salah satu paling benar. Sikap terbuka masyarakat Nusantara memungkinkan kehadiran banyak mazhab dan aliran tarekat diterima dan diterapkan secara eksoterik.

Dampak kontinu dari polarisasi pelbagai praktek dan ijtihad ulama bermazhab dapat dijumpai di banyak tempat. Kenyataan ini pula yang menjadi alasan mengapa Gus Dur pada dekade akhir 1990-an dan awal milenium ketiga pernah berucap Islam merupakan agama damai dan paling “elastis” karena kemampuannya  secara kontinu beradaptasi dengan banyak keunikan kebudayaan Nusantara (Wahid [Ed], 2009). Argumen Gus Dur di atas terlahir dari konteks dimana menguatnya tuntutan penyatuan pendirian negara Islam (Khilafah Islamiyah) Indonesia oleh kelompok Islam garis keras, yang mengutamakan kekerasan fisik maupun teror psikologis. Kelompok ini menyusup ke pelbagai organisasi sosial keagamaan, baik Muhammadiyah, Partai Islam, pengurus Takmir Masjid dan Majelis Ta’lim di banyak daerah. Mereka juga tidak segan-segan menjastifikasi sebuah praktek keagamaan sebagai syirik. Pendeknya, penghayatan Islam yang masih mengaksentuasi unsur-unsur budaya lokal dianggap sebagai syirik atau bid’ah, melenceng dari ajaran Nabi Muhammad s.a.w, bahkan membunuh sesama muslim dianggap sesuatu yang wajar.

Padahal dalam sejarah Islam di Nusantara, agama ini dibawakan masuk oleh ulama dan saudagar melalui jalur perdagangan dengan cara-cara damai dan sangat egaliter (Abdullah, 1993). Dalam kasus Indonesia sebagai bangsa maritim, kita hampir tidak menemukan riwayat masuknya Islam dimana proses itu dilakukan secara kekerasan, intimidatif dan saling membunuh. Para muballiq datang menyiarkan Islam dan mentransfer ilmu-ilmu agama dengan pertama-tama menyesuikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan kebudayaan setempat. Di sinilah vernakularisasi Islam mewujud dalam pelbagai bentuk cipta, karsa dan rasa.

Vernakularisasi merupakan proses mengalihkan bahasa tertentu ke suatu bahasa lokal untuk memudahkan suatu maksud dan pesan. Maka tak mengherankan di Maluku Utara kita mengenal Dolo Bololo, Dalil Tifa, Dalil Moro, Tamsil, Rorasa, Pandara, Lefo, dan sebagainya sebagai bukti konkret vernakularisasi bahasa Arab demi perkembangan Islam secara egaliter. Bukti lainnya adalah kita bisa melihat catatan-catatan keilmuan dengan tulisan pegon (aksara Arab-Ternate), secara umum dikenal “huruf Jawi” yang berkembang pertama kali di wilayah Aceh-Sumatera pada awal-awal masuknya Islam. Adalah bentuk interpretasi dari tulisan berbahasa Arab. Saya melihat itu kekayaan pengetahuan bernilai emik dam intrinsik yang tidak ada di belahan benua mana pun di dunia.

Jika ada tuntutan formalisasi agama dan pembentukan negara Islam di Indonesia, kata Gus Dur, maka mereka telah berusaha menghilangkan jejak pengetahuan adi luhung dan proses pemberadaban Islam di banyak daerah Nusantara. Kekayaan pandangan sejarah dan Khazanah Islam kultural dilenyapkan bersama seluruh instrumen kebudayaan, ilmu dan adab yang mengitarinya. Di satu sisi, adab menghormati antar sesama dan metode bejalar ilmu-ilmu Islam berlafaskan nilai-nilai budaya masuk dalam radar penghancuran kelompok garis keras. Di sisi lainnya, penolakan keras terhadap pembentukan negara Khilafah Islamiyah merupakan perwujudan akar historis dan keistimewaan melihat berkah ilmu dan adab yang tumbuh sebagai nadir kehidupan ummat Islam di seantero Nusantara.

Oleh karena itu, pertumbuhan ummat Islam di Indonesia tak boleh dilepas-pisahkan dari media kebudayaan yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Dalam hal ini, Pangaji sebagai media pendidikan paling awal dan pusat pembelajaran Islam mengenai adab (fael) dan hakikat menuntut ilmu.  Keutamaan pengajaran mengenai adab dan sesuatu yang bernuansa mistikal dalam jejaring keilmuan di Jazirah Al-Mulk tak dapat sipungkiri, karena ini erat kaitannya dengan nuansa Islam tasawuf atau Sufistik yang mula-mula masuk di kawasan Nusantara. “Mistifikasi” keilmuan Islam, sebagaimana banyak diulas oleh para filosof atau cendekiawan muslim maupun non-muslim, justru berada pada tahap paling tinggi dalam metode pendidikan Pangaji, yang dikenal dengan tahapan durusu ilmu.

Itu sebabnya, jika sejak dini generasi tidak dididik menyentuh akar historikal dan mistifikasi pembentukan mentalitas agama, maka pantas dikhawatirkan bangsa ini ibarat berlayar menggunakan perahu yang gadingnya sudah retak. Meminjam konsep tahap perkembangan masyarakat dari sosiolog muslim, Ibn Khaldun, kita berada pada tahapan kemunduran memaknai peradaban. Demikian pula, keluhuran ilmu dan adab tak lagi menjadi Peda dan salawaku kehidupan. Bukankah para Sultan, Joguru dan Khalifa sebagai pemimpin agama yang telah lama merawat kemasyuran nilai Islam melalui Pangaji sejak dulu? Bisakah kita bangkitkan lagi peradaban luhur Islam sebagai jati diri bangsa yang bersejarah di Maluku Utara? Bisakah kurikulum pendidikan kita betul-betul melibatkan kosmologi pengetahuan lokal bernilai universal itu?

 

Penulis: Wawan Ilyas

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan