Pangaji: Sebuah Rekonstruksi Identitas (Bagian II)
Pada skala lebih mendasar, Pangaji membentuk identitas. Kemunduran Pangaji sama nilainya kehilangan identitas. Negeri ini pernah dihidupi dengan akulturasi identitas Islam dan kejeniusan pengetahuan lokal. Dalam sejarah bangsa-bangsa besar di dunia, identitas merupakan perkara kuno yang dapat membangkitkan, bahkan meruntuhkan peradaban. Hanya ada dua yang bisa merawat identitas peradaban suatu bangsa, yaitu pengetahuan atau ilmu dan berikutnya mengenai fael atau adab. Tidak satu pun peradaban besar di dunia yang tumbuh begitu saja (given) tanpa ada rekayasa manusia. Semuanya butuh keterlibatan kerja akal dan kesanggupan jiwa manusia memproyeksi suatu peradaban melalui akhlak.
Untuk merekonstruksi identitas, kita butuh “strategi kebudayaan.” Dalam sejarah kebudayaan Islam, kita perlu berkaca pada masa kejayaan Kekhalifaan Abbasiyah dibawah kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) yang berkontribusi besar di bidang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Baca: Kejayaan Abbasiyah). Betapa tidak, sang Khalifah memprakarsai kebijakan kebudayaan di Kota Baghdad dengan menerjemahkan dokumen dan buku-buku berbahasa Yunani, India, Cina ke Bahasa Arab. Penerjemahan buku dan pengumpulan manuskrip kuno itu meliputi pelbagai bidang, kedokteran, astronomi, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Khalifa Harun Ar-Rasyid fokus meluaskan pembinaan peradaban dengan pendidikan sejarah berbasis Islam. Kebijakan ini berdampak luas terhadap masyarakat di Kota Baghdad dimana banyak cendekiawan muslim terlahir di masa kejayaan Ar-Rasyid. Baghdad menjadi pusat peradaban Islam paling masyur dalam sejarah. Pada masa ini pula, empat Mazhab besar menemukan momentum sebagai soko guru kemajuan Islam di dunia.
Jika di Timur Tengah kita mengenal Khalifa Harun Ar-Rasyid, maka di Nusantara ada Sultan Baabullah Datu Sjah (1528-1583), Sultan Ternate paling besar dalam memanfaatkan lembaga pendidikan tradisional Pangaji melawan hegemoni Eropa. Sultan ini karena kemampuannya berdiplomasi dan komitmen pembinaan pendidikan budaya berlafaskan Islam, beliau diangkat sebagai Khalifa Imperium Islam Nusantara oleh sidang majelis raja-raja saat itu (Baca: Riwayat Perjuangan Sultan Baabullah Datu Sjah dalam Mengusir Portugis dari Nusantara (2020). Tahun 1536, Maluku dihantam misi jesuit pendidikan Khatolik Roma yang memperkenalkan aksara latin ke masyarakat Ternate. Orang Maluku di saat itu merupakan masyarakat Nusantara yang pertama-tama diterpa pendidikan Eropa. Misi jesuit para misionaris ini berjalan massif bertahun-tahun, hingga mempengaruhi dan merubah struktur dasar pengetahuan lokal masyarakat.
Sebagai pemimpin Islam, Sultan Baabullah melihat itu sebagai suatu proses hegemoni kebudayaan yang tidak boleh dibiarkan lama. Maka, dibuatlah “strategi kebudayaan” membendung misi jesuit tersebut. Sang Sultan menghadirkan perlawanan dari jalur pendidikan, dengan memosisikan lembaga Pangaji sebagai “ruang publik” konsolidasi (Lihat penelitian lembaga Pustaka Pangaji Kie Raha (2022). Setelah kematian ayahnya, Sultan Khairun Djamil, penulisan teks-teks beraksara pegon Arab-Ternate mulai dibangkitkan ulang dan beliau mengintervensi pembelajaran ilmu falakiyah, kenavigasian, militer, ekonomi, politik dan agama.
Dari ruang Pangaji, masyarakat Ternate diajak untuk terlibat. Pada masa Sultan Baabullah ini pula, perkembangan pengetahuan lokal berupa penulisan aksara pegon Arab-Ternate menjadi kekuatan siar Islam, disamping sebagai “bahasa rahasia” selama perlawanan terhadap Portugis. Kekuatan maritim Islam terbesar juga hadir di masa ini berkat ilmu-ilmu kenavigasian (nunako) dan pertahanan militer yang kuat. Para muballig berkutrunan Arab dikirim ke wilayah-wilayah bersama Joguru dan khalifa, dibantu Sangaji setempat untuk menggalakkan konsolidasi siar Islam dan menyuluh api perlawanan. Keberhasilan paling spektakuler Sultan Baabullah memprakarsai perlawanan dengan ilmu dan adab adalah, kemenangan yang diraihnya atas Portugis tanpa kekerasan. Sultan berhasil membawa sikap egalitarian dalam peperangan berkat pendidikan Pangaji. Meminjam kata-kata Gramsci, Sultan berhasil melancarkan counter hegemony. Saya membaca itu keberhasilan gerakan literasi yang bertujuan bukan hanya mengusir penjajah, namun lebih ke arah memproyeksi identitas kemaritiman dan mentalitas warga yang mengutamakan ilmu dan adab berlafaskan Islam.
Buya Hamka, intelektual dan ulama terkemuka abad ke-20 mengakui, perjuangan Sultan Baabullah telah menunda 100 tahun penjajahan di Nusantara. Baik Khalifa Harun Ar-Rasyid maupun Sultan Baabullah Datu Sjah, dua pemimpi muslim ini sama-sama melihat pendidikan dan gerakan literasi berbasis Al-Qur’an dan Sunnah sebagai jantung peradaban. Harun Ar-Rasyid memanfaatkan manuskrip-manuskrip kuno dari pelbagai kebudayaan dunia untuk merekontruksi identitas universal dan memperkuat supremasi pengetahuan masyarakat muslim. Sedangkan Sultan Baabullah Datu Sjah melihat lembaga tradisional dengan kejeniusan sistem pengetahuan lokal sebagai sumbu utama menyuluh api Islam melawan kebodohan, penjajahan dan diskriminasi.
Hari ini, kita tidak menemukan pemimpin-pemimpin muslim yang konsisten merawat literasi. Kebijakan kebudayaan pemerintah dibidang pengembangan literasi sangat minim dan jauh dari struktur dasar pengembangan identitas lokal. Sistem Pangaji rubuh. Pengetahuan aksara pegon punah. kesultanan sebagai “dapur kultural” telah banyak sibuk dengan urusan-urusan politik praktis. Birokrat sibuk mengamankan posisi. Pada akhirnya, kebutaan aksara lama benar-benar hilang di permukaan diskursus budaya dan agama. Sekolah-sekolah formal doyan mengejar permintaan pasar, yang menjadikan anak-anak didik bermental individualistik. Tata krama diantara guru dan murid pun jauh dari keutamaan menghargai ilmu dan adab memuliakan guru, sebagaimana tertulis dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kita tidak lagi mempunyai payung kebijakan yang sungguh-sungguh melihat problem lokal dan problem kebudayaan Islam secara serius, sebagaimana upaya-upaya kebijakan pemberadaban yang kita petik dari Khalifa Harun Ar-Rasyid dan Sultan Baabullah Datu Sjah.
Bukan sesuatu yang tendensius, tetapi perlu disampaikan bahwa gerakan pemuda Soa Dorari Isa dan pemuda Soa Tomajiko merupakan langkah-langkah yang masih sangat kecil untuk meniti ulang kejeniusan peradaban lokal dan semangat membangkitkan literasi Islam. Peradaban bukan milik pribadi dan tidak bisa dikonstruksi sendiri. Butuh kerja kolektif banyak orang melibatkan kekuatan struktur maupun kultur. Jika orang percaya Marxis ortodoks atas tesis ekonomi sebagai dasar perkembangan sejarah, Sultan Baabullah Datu Sjah dan cerita Pangaji telah merubah pemikiran tersebut. Spirit agama yang menentukan transformasi sejarah. Saat ini, kita kehilangan spirit itu.
Penulis: Wawan Ilyas