Pemberani Itu Bernama Abdul Basir
Filsuf Spanyol, George Santayana pernah mengatakan, “suatu bangsa tanpa memori adalah bangsanya orang gila” Ucapan Santayana adalah suara kewarasan pikiran untuk menegaskan bahwa sejarah suatu masyarakat dapat ditelusuri dari ingatan bersama warga. Bahwa ingatan, merupakan fondasi untuk membentuk arah suatu bangsa.
Bulan April, tahun 1945, sengatan mentari memicu adrenalin perang di pangkalan utama militer Sekutu di Pulau Morotai. Di perairan sana, dua kapal patroli Torpedo (MTB) Angkatan Laut Amerika bersiap mengangkut 33 pasukan gabungan Unit Khusus “Z”. Atas diplomasi pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) dan pasukan tentara rakyat/pasukan bantuan (Huphtroepen) dari Pulau Hiri dan Ternate, Jenderal Doughlas MacArthur, pemimpin Perang Pasifik, menyetujui operasi “Opossum” mengevakuasi Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah beserta keluarga secara rahasia.
Abdul Basir memimpin 20 pasukan “Hulpthroepen” Hiri dan Ternate. Perwira Belanda, Letnan George Bosworth, mengomandoi delapan pasukan Australia, kemudian ada perwira intelijen Australia, Mayor Richard Hardwick, seorang gerilyawan dari Sulawesi Selatan dan satu dari Timor. 33 pasukan gabungan misi Klandestin itu, berada dibawah komando Kapten Kroll, perwira intelijen Belanda yang ditunjuk langsung oleh MacArthur.
Di Pulau Hiri-Ternate, warga desa tetap dalam ikhtiar perjuangan. Pendudukan Jepang dan segala ancaman serta teror bermunculan tanpa henti. Nyawa taruhannya, bagi siapa yang bersedia membocorkan informasi mengenai keberadaan Sultan, tentara Jepang di bantu mata-mata mereka (menseibu) akan memberi jaminan ekonomi juga barang serta fasilitas kehidupan lainnya. Sebaliknya, siapa yang kedapatan mendukung Sultan dan pro Sekutu, tak tanggung-tanggung, Jepang membunuh dengan algojo dari warga lokal. Penjajahan Jepang begitu ganas. Jepang butuh Sultan untuk mengokohkan invasi mereka di Maluku Utara. Sedangkan Sekutu butuh Sultan untuk membongkar informasi rahasia mengenai kekuatan Jepang.
Sultan adalah tokoh kharismatik. Ada wilayah, punya pasukan. Juga berwibawa. Perang Dunia II telah merembes hingga ke wilayah paling timur ini. Dan inilah alasan politik mengapa Sultan harus “direbut” sesegera mungkin demi sebuah kemenangan berarti antara Jepang yang mewakili Fasisme Global di Asia dan Amerika yang mewakili negara-negara Sekutu.
Abdul Basir, pemberani dari Soa (Kampung) Faudu, menjadi Kapala Kampong Tomajiko. Beliau menikah dengan perempuan Tomajiko bernama Bansa Usman, saudari perempuan dari Khalifa Loto Usman (Baba Lifa: Nama Pangaji di Tomajiko). Sebelum keberangkatan ke Morotai, beliau berpesan kepada anaknya dan sejumlah pemuda, jemputlah mereka di kegelapan malam di pesisir Pantai Sake Madaha, pada waktu dan bulan yang telah diberitahu secara sangat rahasia. Tatkala kapal patroli torpedo itu tiba saat malam, Abatu A. Basir bersama Radjab Sigunyihi, keluar dari satu forum malam di Tomajiko secara diam-diam, mereka bergegas ke pantai mengambil perahu tradisional (oti sama-sama/perahu semang).
“Futu ne ana aba hado. Ne ena ma ara rai ma ne (malam ini mereka (Abdul Basir) tiba, sekarang sudah masuk bulan kedatangan mereka)”, ucap pelan Radjab Sigunyihi kepada anak Abdul Basir.
Tak boleh ada api. Tak boleh ada yang mencurigakan. Terlalu membahayakan. Solusinya, berdua harus mengambil “uku ma detu” (bara api), tapi harus disimpan dalam sarung. Dari sebuah rumah berdinding rumbia, juga beratapkan rumbia di ujung kampung Tomajiko, seorang ibu rumah tangga sedang memanggang sagu (huda raru saya dan raru gila) sebagai makanan pokok orang Maluku, sebelum beras merubah segalanya hingga kini. Di situlah dua orang penghubung mengambil bara api (uku ma detu) atas izin pemilik dapur tadi. Bara Itu dipakai di atas perairan sebagai penanda kepada 33 pasukan Unit Khusus “Z” , dengan Abdul Basir yang membacanya dari atas kapal, ketika bara itu diputar secara cepat di udara. Komunikasi pun terjalin. Maka surat MacArthur harus segera diantarkan ke Sultan Ternate.
Abdul Basir menentukan siapa warga lokal yang bisa membawa surat itu. Maka, segera adakan musyawarah dalam tempo singkat. Loyalis lain, Husen Hatari, mengaku bersama empat orang lainnya yang akan mengeksekusi operasi tersembunyi itu. Menariknya, keberangkatan tersebut dibarengi diplomasi menyelamatkan pasukan. Bahwa boleh surat diantarkan, asalkan pos militer Jepang di Ternate dibombardir dari udara pada waktu pagi. Ini strategi mengecoh konsentrasi Jepang. Abdul Basir menyampaikan itu ke Kapten Kroll, dan Kroll menghubungkan ke pusat komunikasi militer di Morotai. Kesepakatan pun terjadi. Sultan dan keluarga akan dievakuasi pada Rabu pagi, 10 April 1945. Di Sake Madaha, antena komunikasi militer didirikan.
Peperangan tak terelekkan. Mata-mata Jepang di Ternate berhasil mengetahui misi gelap itu, lalu mereka mulai beroprasi. Beruntun, Jepang baru tahu ketika Sultan sudah sampai di pantai Kulaba, yang meluaskan jalan pasukan Hulphroepen dari warga lokal untuk membawanya ke Pulau Hiri. Warga lokal telah dipilih secara khusus untuk menjemput Sultan di pantai Kulaba. Di Batu Angus, prajurit bertumbangan. Baik warga maupun tentara Jepang. Tugu tragedi Jepang itu, kini berdiri di sisi barat Batu Angus.
Tatkala sampai di Hiri, rakyat telah menyediakan sejumlah lubang galian (lofra). Selama pendudukan Jepang, Lofra telah menjadi ruang mengamankan diri dari ledakan bom dan juga persembunyian dari tentara Jepang. Orang-orang Ternate dari pelbagai kasta dan rupa mengadakan pengungsian besar-besaran ke Pulau Hiri. Mereka menghindar dari ancaman Jepang. Pengungsian besar-besar itu terjadi di hutan-hutan dan kebun-kebun warga di Hiri sebelum kedatangan pasukan Sekutu itu.
Terdapat media persembunyian Lofra di desa-desa. Bekas tertua lubang Lofra masih bisa dilihat saat ini di Togolobe, tepat di belakang Masjid. Jepang mengejar dengan armada laut mereka ke Pulau Hiri. Bunyi senjata dan ledakan bom membahana tanpa henti.
Peperangan di daerah “Nyare”, pada akhirnya menewaskan Abdul Basir. Satu-satunya warga lokal yang terbunuh di medan itu. Begitu tragis. Ia ditembak di kepala oleh pasukan yang berkiblat ke Kaisar Jepang. Abdul Basir mati membela kebenaran. Ia mati mempertahankan kemerdekaan bangsa ini yang diproklamirkan 4 bulan kemudian oleh Soekarno-Hatta.
Loyalis sultan lain dari Faudu bernama Hasan Sehe (Tete Cang), mengisahkan peristiwa heroik dan tragis itu dalam sebuah tamsil berhuruf aksara pegon Arab-Ternate. Tulisan Arab, tapi bunyi bahasa Ternate. Ini peradaban dalam soal penulisan. Tete Cang beri judul “Tamsil Kejadian Ternate”. Saya sebut tamsil itu adalah sumber sejarah dari genre sastra klasik Ternate, hasil ramu dari pendidikan Pangaji di Faudu. Catatannya bermuatan “living history“, sejarah yang hidup di masyarakat. Dari cerita, ingatan dan kenangan. Seperti mengingatkan bahwa sejarah tak boleh gagal. Sejarah bukan hanya ada dalam dokumen resmi negara, tetapi sejarah juga bergerak dalam “memori kolektif.” Untuk memahami kiprah Abdul Basir, kita perlu penulisan Sejarah dari teropong Filsafat Sejarah Spekulatif, agar basis ontologis dari sejarah tetap terabadikan menurut pengakuan warga lokal.
Begitu juga, jejaring dan pintu-pintu epistimologis sejarah bisa digerakkan, dibuka dari pelbagai fakta kekayaan cerita, lingkungan, perasaan, emosi dan cinta. Nilai dari pada sejarah pada akhirnya bergantung pada apa dan bagaimana suatu masyarakat merawat suatu cerita berharga. Tamsil Kejadian Ternate merupakan salah satu rujukan penting melihat kejadian yang paling berharga dalam sejarah Indonesia di Pulau Hiri.
Tubuh Abdul Basir tergeletak membisu di pesisir. Pasukan gabungan unit khusus Z dari pihak Australia ikut tumbang, yaitu Mayor George Bosworth dan Sersan Negginbotton. Rakyat Hiri bersedih, pimpinan revolusi telah gugur sebagai syuhada di medan juang. Momen dramatis penuh cinta pun tiba. Jenazah dibawa ke Masjid, Sultan menemui Jenazah pejuang revolusi itu, dan dari wajahnya yang mungil menunjukkan sisi kharismatik seorang Kolano Ternate. Dari pengabdian Abdul Basir menerima perintahnya untuk ke Morotai, Sultan berhasil dikeluarkan dari lingkaran api teror Jepang. Di hadapan jenazah, sang Sultan berdoa, “dia (Abdul Basir) telah pertaruhkan hidup untuk ummat, untuk rakyat. Semoga ditempatkan dalam Jannah-NYA”
Sultan pun bersumpah: “Cukup di hari Rabu ini saja musuh Jepang menginjakkan kaki di Pulau Hiri”. Pulau ini akan dijaga dengan kebesaran leluhur dengan Islam sebagai dasar perjuangan. “Sio ja ara, Abdul Basir.”
Dengan spirit juangnya, Abdul Basir ikut menggagalkan misi besar Fasisme global yang ingin menawan Sultan Ternate. Abdul Basir adalah nama yang paling kuat memukul bawah sadar orang Hiri, tentang perjuangan tumpah darah dan air mata. Ia tersimpan dalam endapan ingatan atas peristiwa cikal bakal kemerdekaan republik Indonesia di Pulau Hiri. Sejarah revolusi 1945 hidup dalam memori kolektif orang Hiri, dengan tuturan, cerita dan ingatan yang sungguh unik dan berbeda dengan sejarah resmi nasional yang cenderung mengabaikan peran orang-orang kecil.
Generasi tak akan lupa. Sosok Abdul Basir, loyalis Sultan dan pemberani asal Faudu adalah pejuang revolusi 1945.
Penulis: Wawan Ilyas