Falajan.com
Beranda Telaah Petani Kopra: Sebuah Imajinasi Masa Depan

Petani Kopra: Sebuah Imajinasi Masa Depan

Jika rezim itu baik maka baik pula negaranya dan

apabila rezim itu buruk maka buruk pula negaranya” (Penulis).

 

Aksi gerakan melawan ketidakadilan rezim pada tahun 2018 adalah perang yang perlu dicatat oleh masyarakat Maluku utara. Daerah seperti, Ternate, Tobelo, Sofifi, Makassar, dan Ibu kota Indonesia (Jakarta) adalah titik aksi para aktivis. Berbagai kalangan akademik dan masyarakat Maluku utara merespon positif dan bergabung melawan ketidakadilan rezim pada petani kelapa kopra. Tuntutan dari gerakan itu adalah menaikan harga kopra demi terpenuhinya perekonomian masyarakat petani.

Perjuangan pada saat itu memakan waktu yang cukuk lama, namun perjuangan tersebut belum membuahkan hasil untuk masyarakat Maluku Utara khsusnya petani kelapa kopra. Hingga kini penuntutan menaikan harga kopra tak kunjung dipenuhi.

Sebagai masyarakat Maluku Utara, kita tahu bahwa ketimpangan harga kopra bukan saja terjadi pada tahun 2018 melainkan juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Dan baru kali ini (2018) aksi besar-besaran dilakukan oleh aktivis. Gerakan itu disebut sebagai “gerakan kemanusian” untuk menegakan keadilan pada petani kelapa lokal. Gerakan “kemanusiaan” itu bagi saya, adalah sebuah ikhtiar anak negeri untuk menjaga para petani kelapa lokal tetap bertahan, tidak tersingkir dari persaingan pasar global dan tidak menjadi tumbang dari sistem kapitalisme.

Tanaman kelapa lokal merupakan tanaman budi daya terluas ketiga setelah padi dan kelapa sawit, dengan areal 3,8 hektar. Penyebarannya menduduki di posisi kedua setelah padi, yang tersebar di seluruh Indonesia sekitar 97% areal (Baca: David Allorerung et al 2008). Kopra adalah salah satu turunan dari kelapa lokal. Daerah seperti; Sulawesi, Papua, Maluku, Maluku Utara, dan berbagai daerah lainnya. Rata-rata berprofesi sebagai petani kelapa kopra dengan luas lahan diperkirakan ± 1-2 hektar per KK (Kepala Keluarga).

Pertannyaannya adalah, apakah masalah yang dihadapi petani kelapa lokal hanya sebatas pada menurunnya harga kopra? Jawabanya, ‘tidak’. Penurunan harga kopra hanyalah permainan pasar global untuk menumbangkan petani kelapa lokal. Akses dan modal sosial merupakan kelemahan terbesar petani sehingga begitu mudah dipermainkan oleh pasar. Di satu sisi kita membutuhkan jawaban dan berharap mampu terjawab secara permanen demi kesejahteraan petani kopra.

Melihat ketimpangan pembangunan yang terjadi pada rezim saat ini, sulit untuk dipercaya bahwa mereka (pemerintah) bakal menyelesaikan persoalan yang dihadapi petani kita saat ini. Jika mereka mampu mungkin negeri Maluku utara sampai saat ini masih diprimadokan oleh orang eropa. Penyebaran tanaman rempah-rempah di berbagai pelosok dunia merupakan bentuk dari penghapusan identitas. Dari kasus itu, dapat kita ketahui kemampuan politik perdagangan Pemerintah Maluku Utara (khususnya) dan Indonesia pada umumnya.

Ini merupakan politik perdagangan pasar global, menimbulkan yang baru dan menumbangkan yang lama. Begitulah strategi perang perdagangan kapitalisme yang selama ini tanpa sadar kita pakai. Kasus petani kelapa lokal bukanlah masalah harga kopranya melainkan lahan dan tanaman kelapanya. Artinya, petani yang menekuni pada satu objek tanaman tersebut juga menjadi korban. Sasaran empuk adalah lahan petani kelapa lokal yang nantinya dikonversi menjadi tanaman kapitalisme. Kopra merupakan kunci petani sehingga mudah ditumbangkan oleh pemodal.

Ada dua pilihan alternatif yang bakal dialami oleh petani kelapa lokal ketika dilanda krisis perekonomian. Point pertama adalah menjual tanah dan kedua mengkonversi lahan. Kedua unsur ini yang bakal menghilangkan petani kelapa lokal dalam dunianya sendiri. Disinilah bakal terjadi perubahan yang amat sulit untuk dihadapi masyarakat petani kelapa lokal. Kekhasan budaya dan tradisi pun ikut berubah secara sepontan.

Jika point yang diutamakan adalah menjual tanah maka diprediksi; 1) angka petani tunakisma (petani tanpa tanah) semakin meningkat, 2) penganguran, dan, 3) kemisikinan. Apabila hal itu terjadi maka petani sudah harus menyiapkan diri untuk melawan resiko. Salah satunya adalah menjual tenaga/fisik kepada pemodal demi mendapat upah untuk kebutuhan sehari-hari. Apabila point kedua yang dipilih maka mereka perlu memperbiasakan diri dengan kondisi sosial baru mereka. Salah satu caranya adalah berinovasi sebab dengan jalan tersebut mereka dapat mempertahankan hidup. Semoga.

 

 

Penulis: Budi Sahabu

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan