Revolusi Kaum Muda Vs Kapitalisme
*Budi Sahabu
“Kalau pemuda sudah berumur 21, 22 sama sekali tak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa, pemuda yang begini baiknya digunduli saja kepalanya”. Begitulah kata Soekarno yang dikutip Eko Prasetyo dalam tulisannya yang terbit di Indoprogres edisi 18 September 2017.
Kaum muda dituntut progresif demi mempertahankan masa depan bangsa. Olehnya itu, kaum muda dilarang lemah dan tidak pasif, kaum muda harus memiliki cita-cita dan mimpi yang tinggi untuk melawan ketidakadilan dan membangun kesetaraan dalam negeri ini.
Airlangga Pribadi Kusman melalui tulisannya yang berjudul “Zaman Ketika Pemuda Mengguncang Dunia”.Ia memiliki impian dan mimpi kalau akan ada zaman dimana kaum muda skala makro akan dipertemukan dan mengguncang dunia. Impian itu menurut Airlangga akan terjadi, Ia melihat telah terjadi di lima negara yang pemudanya begitu progresif membangun semangat dalam negerinya melalui dunia perpolitikan, dimulai dari Spanyol, Yunani, Amerika Serikat, Inggris, dan Chile (Amerika Latin). Sementara di Indonesia Airlangga melihat ada yang tidak steril dibalik dari anak muda ketika menghadapi gelombang kebangkitan anak muda dunia. Ada sebagian besar kelompok-kelompok anak muda melalui barisan relawan yang berhasil memenangkan Jokowi sebagai presiden, sementara sedikit dari anak muda Indonesia berggeliat menemukan format kebangkitan (baca Kompas.com edisi 29 februari 2016).
Satu artikel juga ditulis olehAria W. Yudhistira yang menelusuri sebutan atau sosok pemuda yang sebenarnya melalui tulisan yang berjudul “Pemuda, Remaja, dan Alay: Dari Politik Revolusioner Menjadi Sekadar Gaya Hidup”. Dalam tulisannya ini terdapat perkataan Pramoedya Ananta Toer yang dikutip Aria dalam wawancara majalah Playboy mengatakan, “sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda, angkatan tua itu jadi beban”. Dari perkataan Pram itu timbul pertanyaan Aria, lalu siapa sosok kaum muda itu? menjawab pertanyaan itu Aria tak sebatas berpatokan pada UU Kepemudaan Nomor 40 tahun 2009 yang identik dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia, tetapi juga melihat periode perkembangan dari masa penjajahan Belanda dan Jepang, era orde baru hingga era sekarang.
Pemuda pada zaman Belanda dan Jepang dikarakterkan sebagai semangat penuh vitalitas dan revolusioner, dibawah ketokohan semangat muda oleh sang proklamator (Soekarno). Pengalaman di dalam sejarahlah itu yang menurut Aria membentuk sosok pemuda. Itu senada dengan yang dikatakan Onghokham (1877) bahwa suasana zaman saat itulah yang membentuk pemuda. Lepas dari masa Soekarno dan masuk era Orde Baru, peranan pemuda seakan hanya meninggalkan sejarah, Ryter (1998) mengatakan aksi demonstrasi bagi pemuda gaya baru ini hanyalah hobi yang dapat menghasilkan uang. Sedangkan pemuda di era sekarang berpangkal pada gaya hidup kapitalisme (baca Indoprogres 16 Desember 2014).
Dari tulisan Airlangga dan Aria, muncul satu tulisan dari Eko Prasetyo yang berjudul “Kita Kehilangan Kaum Muda”, tulisan ini adalah bentuk kerinduan akan sosok pemuda yang revolusioner seperti pada zaman Soekarno di kala itu. Dalam tulisannya, Eko mengatakan tanpa kaum muda dalam arti sesungguhnya, kita akan jadi bangsa yang tanpa punya ide sosial militan sekaligus terjebak dalam ketergantungan (baca: Indoprogress edisi 18 September 2017).
Dari ketiga artikel di atas menunjukkan ada yang berbeda pada kaum muda pasca revolusioner. Tulisan pertama menunjukan betapa pentingnya peran kaum muda di masa sekarang. Penggerak revolusioner ada pada tangan kaum muda yang progresif dan penuh semangat membangun dan melawan ketidakadilan. Tulisan kedua sudah jelas bahwa sekian banyak kaum muda sedikit yang progresif melawan ketidakadilan dalam negeri, yang ditemui kaum muda saat ini yaitu pemuda, remaja, dan alay (gaya ala kapitalisme). Dan tulisan yang terakhir telah tampak bahwa kaum muda kita telah kehilangan kendali menghadapi kelas kapitalisme yang membara pada otak manusia itu.
Pertanyaan sekarang adalah bagimana dengan kaum muda Maluku Utara? Apakah kaum muda yang memiliki jiwa revolusioner ada di Maluku Utara? Mungkin sedikit kita kembali dan membaca problem masa lalu pada tahun 1999. Berdasarkan pengalaman pada tahun itu kaum muda Maluku utara sebenarnya telah terjebak dengan masalah agama dan politik yang dimainkan oleh segelintir kelompok elit untuk mendapat kekuasaan.
Konflik kekerasan yang begitu memuncak hingga timbul puluhan bahkan ratusan korban jiwa. Dan saat itu pula kaum muda seakan telah mati di telan era transisi, peran kaum muda yang tak menonjol, yang ada hanyalah TNI dan Polri saat mendamaikan perseturuan antar masyarakat yang berbeda keyakinan pada saat itu. Bukan berarti TNI dan Poliri adalah pahlawan dikala itu, sebagai pelayan masyarakat sudah sepatutnya mereka turun dan mengamankan kedua kubu yang berselisih.
Usai konflik 1999 kaum muda Maluku Utara seakan baru (awal) masuk era pencerahan. Kaum muda mulai gencar-gencarnya masuk ke perguruan tinggi. Pemikiran kritis mulai bermunculan melalui aksi perlawanan mahasiswa, meski sebatas lingkar kampus. Gebrakan keras baru terbangun setelah SBY mengeluarkan kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan melakukan aksi turun ke jalan yang menjadi salah satu aksi terbesar mahasiswa Maluku Utara pada tahun 2012.
Dari cerita yang singkat itu menunjukan kalau jiwa revolusioner kaum muda Maluku utara sudah pada tahap menuju proses, karena itulah belum terlihat sosok seorang yang revolusioner, namun proses itu akan jatuh jika kaum muda terjebak dalam ruang kapitalisme. Dan hal itu akan merubah gaya hidup anak muda menjadi gaya hidup kapitalisme dan pada akhirnya revolusi itu akan tumbang di tiap tindakan anak muda dan pada akhirnya kelas kapitalisme-lah yang memenangkan arena pertarungan itu.
Semoga.
*Pegiat PILAS