Ternate Ad Infinitum (Perihal Ternate Book Fest 2020)
Laut, gunung, buku. Ia tak pernah mengira bisa membaca ketiganya, mengeja lekuknya, dan menikmati bentang “halaman-halaman”-nya sampai ia tiba di negeri seberang bernama “Ternate”. Negeri di mana ia melihat laut, gunung, dan buku hadir bersamaan di pelupuk matanya. Mengajak pikirannya ke arah cakrawala yang-tak-terbatas, menguji batas cakrawala menuju “yang-tanpa-batas”.
Ad infinitum, ia menyebutnya dengan logat Latin. Laut membuka pandanganmu ke segala ufuk horizontal. Ia mengajakmu menyeberang, pergi ke seberang, ke “ia yang-di-sana”. Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, ia yang “Ada-di-sana”. “Ada-di-sana” berarti: kita tak pernah di sini, kita selalu “menyeberang”.
Manusia selalu menyeberang, hendak merengkuh makna keberadaannya yang tidak dapat diperolehnya instan di sini. Ia harus memaknai Ada-nya, namun makna itu hanya mungkin digapainya bila ia mengatasi kedisiniannya—Heidegger memberinya juluk “faktisitas”.
Dari bibir pesisir Ternate, orang bisa melihat “yang di seberang”: kapal, pulau, laut yang lain lagi. Yang dilihatnya adalah “yang tak terbatas”, yang hendak ia sapa. Ia bertanya: siapa di seberang? Orang asing-kah atau kenalan? Tapi siapakah si asing?
Bukankah setiap yang datang dari seberang selalu hadir sebagai “si asing”, yang tak kita kenal, sang tamu, yang—meski kita telah mengenalnya bertahun-tahun—selalu merindukan kita, dan kita rindukan? Namun, “yang tak terbatas” bukan semata yang singgah datang. Ia juga yang pergi. Meninggalkan sesuatu di seberang. Yang pergi menjauh dari pesisir untuk tiba di Entah. Meninggalkan jejak berupa kenangan, nostalgia, karya. Syukurlah jika ia berupa kebajikan. Malanglah jika ia berupa luka.
Ka dara’ (ke darat), penduduk Ternate memilah kosmologinya dari arah pesisir. Ka dara’ berarti ke arah “gunung”, ke ia yang menjulang, menaik, menuju puncak, menuju “yang-tanpa-batas”: langit. Rangkaian nisbah ini seakan mengisyaratkan: bila kau selesai berkeliling di “alam bawah”, saatnya kau ingat ke “alam atas”, ke yang-Ilahi. Tak heran bila Ternate sarat religi. Semakin mendaki, semakin engkau ingat kepada Ia Yang Maha. Dalam konteks lain, untuk bisa berpikir, kau harus mendaki. Buku membantumu mendaki ke ranah Ide. Buku adalah tangga pendakian menuju “yang-tanpa-batas”. Menuju pucuk-pucuk gagasan. Hanya orang yang berjiwa kuat yang dapat bertahan hidup di ketinggian, kata Nietzsche.
Sebuah festival buku yang merayakan buku di alam yang diapit oleh laut dan gunung, adalah sebuah parade ad infinitum itu sendiri. Buku, dengan halaman-halamannya yang bersambungan, kalimat-kalimat dan sintagma-sintagmanya yang menjelajah kejauhan ufuk pikir, huruf-hurufnya yang merangkaikan sebuah gambaran dunia yang tak selesai, adalah sebuah festival. Membacanya adalah sebuah ibadah perayaan, kultus manusia modern yang tak henti dilakukan sejak peradaban Teks merekah dan kita meninggalkan era Manuskrip menuju era Cetak, dan kini menuju era Klik. Lebih-lebih, bila festival itu turut pula difestivalkan. Sebuah hiperbola memecah kesunyian.
Dalam sebuah festival di pulau yang membekap ingatannya itu, “ia” bertemu dengan para pembaca. “Ia” adalah seorang penulis.
*Muhammad Al-Fayyadl, penulis buku Filsafat Negasi, narasumber tamu pada Ternate Book Fest 2020.