Falajan.com
Beranda Sastra The Killing Tree, Chankiri: Serangkai Puisi Daruz Armedian

The Killing Tree, Chankiri: Serangkai Puisi Daruz Armedian

Faun; The Old Tree; The Old Oak Tree, ca. 1885 (Guss before, 1912) by Auguste Rodin

The Killing Tree, Chankiri[1]

          adakah rengekan bayi
          kau dengar dari
          pohon ini?
 
pada sebuah pohon sunyi,
pohon chankiri,
kepala-kepala bayi dihantamkan,
dihapus namanya satu per satu
dalam sejarah kelabu itu.

pita warna-warni,
kerlip dunia itu,
dipasangkan pada kulit
pohon kelabu.
tapi tetap tak ada
keceriaan di situ.
lelehan darah, serpih otak,
bau amis menguar,
patahan tulang,
seperti masih tergambar.

selalu ada yang merengek di sini,
seperti suara masa depan
yang tak akan pernah terjadi.
seperti juga suara dendam
yang tak bisa terbalaskan.

 

The Killing Fields, Choeung Ek[2]

            pengeras suara itu, kau tahu,
            untuk meredam jerit sakit
            para tahanan di situ.
 
tentu tak terdengar sampai telingamu
raungan-raungan itu.
jerit sakit orang-orang
yang ditusuk bambu,
dipukul palu,
kepalanya dihantamkan pada besi tua,
juga yang dijerat
dan dipatahkan lehernya,
bercampur-baur dengan lagu-lagu
yang keluar dari pengeras suara.

erangan jadi tampak lain,
kesedihan seperti suatu yang asing.
sebab lagu-lagu itu
mengganggumu mendengar
suara kepedihan yang samar.

di atas pohon-pohon,
pengeras suara dipasang,
menyuarakan kemenangan diri
dari perang yang seharusnya
tak terjadi.

 

Tuol Sleng[3]

            bisakah kita bebas bicara
            dengan suara yang tak
           terdengar oleh manusia?
 
ini mungkin cuma mimpi,
atau sekadar kelakar para pendongeng.
tapi di tuol sleng, suara tahanan
benar-benar dibungkam.
mereka dikumpulkan
di dalam ruangan sempit,
kotor, busuk, dan penuh
dengan aroma rasa sakit.

di sana, tak ada
tempat untuk tertawa,
atau bebas menikmati udara.
pagar listrik, ranjang-ranjang penyiksaan,
borgol besi, makan berdiri,
minum air kencing sendiri,
menghapus ‘tawa’
dari kamus dalam kepala mereka.

tak ada yang boleh bicara,
atau mereka memilih tersiksa.
dunia tampak bisu.
orang-orang bersuara
cuma untuk mengaku
keliru, atau menyetorkan
nama-nama keluarga
untuk dijadikan tahanan selanjutnya.


[1] Di tahun 1975-1979, pohon ini digunakan oleh pasukan Khmer Merah untuk membenturkan kepala bayi-bayi warga sipil negara Kamboja agar kelak mereka tidak bisa balas dendam atas kekejaman mereka terhadap orangtuanya.

[2] Atau bisa disebut dengan ladang pembunuhan. Di sini, tahanan sipil banyak dibunuh oleh pasukan Khmer Merah.

[3] Merupakan bekas “sekolah Tuol Svay Prey Secondary School”. Pada masa rezim Khmer Merah berkuasa, gedung ini dijadikan sebagai penjara dan tempat introgasi para tahanan. Gedung ini diberi nama A, B, C, D, dan semuanya memiliki cerita kelam tentang kekejaman Pol Pot. Di sekeliling tempat ini ditutupi kawat berduri dan dialiri listrik. Sekarang tempat ini sudah dijadikan museum genosida oleh Pemerintah Kamboja.


Daruz Armedian, lahir di Tuban, Jawa Timur. Tahun 2016 dan 2017 memenangi lomba penulisan puisi se-DIY yang diadakan Balai Bahasa Yogyakarta. Tulisannya pernah di koran Jawapos, Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Republika, Kedaulatan Rakyat, detik.com, basabasi.co, dll.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan