Falajan.com
Beranda Telaah Ela-Ela, Distilasi Alkena & Pemuda Dufa-Dufa

Ela-Ela, Distilasi Alkena & Pemuda Dufa-Dufa

“Malam Ela-Ela”, By. Adelinrotinsulu

*M.Fauji Hasan

 

“Ela-ela pake jam-jam to suba jo”. Nyanyian itu terdengar timbul tenggelam di seantero langit Ternate. Sebuah nyanyian yang sampai saat ini masih menjadi misteri; dirawat oleh tradisi sebagai ekspresi kebahagiaan ketika malam Lailatul Qadar tiba. Apakah keterbatasan penulis ataukah kerahasiaannya? Ah! biarlah tetap menjadi misteri, setidaknya ada kerinduan yang begitu penuh penulis rasakan ketika mendengarnya sembari diam-diam ikut menyanyikannya. Masa lalu seperti berkelabat dengan suka cita di balik penggalan nyanyian itu, “Ela-ela pake jam-jam to suba jo”.

Malam ela-ela atau malam Lailatul Qadar memiliki pembeda dengan malam-malam lainnya. Malam yang ditunggu-tunggu ini merupakan malam paling istimewa dan penuh dengan kemuliaan, pada malam ini seluruh umat muslim menyambut dan menjalankan dengan cara berbeda-beda di setiap daerah. Di Ternate sendiri mempunyai cara untuk menyambutnya dengan melakukan arak-arakan obor (pancona). Hal ini merupakan salah satu ritual adat dan biasa dilakukan sebagai bentuk penyucian dengan harapan dapat membakar dosa-dosa lalu.

Pada malam ela-ela bisa kita jumpai arak-arakan obor, pelita yang dinyalakan di makam keluarga sebagai wujud doa dan harapan agar dapat dimaafkan segala salah, dan juga ritual Jo’ou Uci Sabea (sultan turun shalat). Ritual ini menjadi pembenar bahwa istiadat ke-Ternate-an kita berlandasan pada nilai agama.

Tahun ini, di kelurahan Dufa-Dufa, pagelaran malam ela-ela dilakukan dengan berjalan kaki membawa obor, rutenya dimulai dari masjid Heku (Masjid Adat) dan berakhir di masjid Makarimal Akhlaq. Orang-orang ramai dan riuh memadati pekarangan masjid setelah tarawih, para tetua, anak muda, Mahimo Gam (kepala kelurahan) terlihat sibuk berkoordinasi, tampak segala peralatan dan kubutuhan, pagelaran malam ela-ela siap di mulai.

Prosesi ini diawali dengan pembakaran obor pertama, dilakukan oleh salah satu imam atau tetua kampung, kemudian obor yang dibakar dibagikan apinya ke setiap warga masyarakat. Arak-arakan pun berjalan diiringi dengan lantunan shalawat, sesekali nyanyian ela-ela pake jam jam to suba jo ramai terdengar seakan nyanyian ini sesuatu yang tak bisa dilepas pisahkan.

Ritual arak-arakan yang dipimpin oleh Mahimo Gam, tokoh agama, serta tokoh adat. Pada saat melakukan pawai seluruh masyarakat mulai dari orang dewasa sampai anak kecil turut meramaikan. Meski dengan berjalan kaki suasana terasa penuh hikmat seraya meresapi sajak ela-ela pake jam-jam to suba jo, nyanyian yang penuh kerahasiaan ini membuat bulu roma berdiri ketika dinyanyikan secara bersamaan, dengan nyanyian ini pula secara simbolik melambangkan kesatuan dan semangat bersama.

Berbicara tentang penyatuan semangat dan solidaritas, penulis terinspirasi dan meminjam istilah Wira Nagara, seorang Stand up comedy sekaligus penulis, salah satu karyanya yaitu Distilasi Alkena. Secara pengertian Distilasi atau penyulingan adalah suatu proses pemisahan bahan kimia berdasarkan kecepatan atau kemudahan menguap bahan. Alkena adalah senyawa hidrokarbon tak jenuh dengan satu ikatan rangkap dua, dalam makna sebenarnya adalah proses pemisahan bahan kimia yang berbeda tapi tetap dalam satu ikatan. Secara garis besar tulisan ini bermaksud  untuk menyatukan semangat dan ego masing-masing pemuda yang terpisah dan berpolarisasi menjadi satu ikatan dalam bingkai ela-ela.

Sekalipun Dufa-Dufa itu satu kelurahan, akan tetapi dibagi menjadi beberapa teritori berbeda-beda, maksud dari teritori adalah bagian-bagian per-kompleks yang memisahkan dan membentuk ego teritori. Ego teritori ini lahir dari sifat saling tidak menyukai antar kompleks satu dengan kompleks lain, karena setiap pemuda memiliki satu per satu perspektif  berbeda dan tidak saling akur, hanya beberapa kompleks memiliki hubungan keakraban.

Ingatan penulis masih mencatat, pada tahun 2022 pernah terjadi perkelahian antar komplek yang dipicu pertandingan bola. Ego teritori ini semacam bensin, kapan saja siap menyala, kita mengenang luka sekaligus berharap momentum malam ela-ela ini seakan menjadi satu kesempatan untuk pemuda agar menjalin hubungan kekerabatan.

kemustahilan akhirnya menjadi kenyataan bahwa pemuda Dufa-Dufa bersatu, berkumpul bersama-sama menyelesaikan satu persoalan saat malam ela-ela, dari ujung lao sampe ujung dara, dari atas sampe bawa ( istilah penunjukan arah). semangat babari (Gotong Royong)  dalam momen seperti inilah yang dapat menyatukan pemuda Dufa-Dufa hingga ego kompleks menjadi tak tampak. Tapi, proses terjadinya peristiwa Distilasi Alkena mengisyaratkan pemuda hanya akan menjadi satu ketika ada momen-momen penting seperti ini dan akan menjadi renggang ketika berakhir.

Ela-Ela Dufa-Dufa Ma Parada tahun ini menandai dua momentum utama. Pertama, sakralitas sebagai keistiadatan yang tetap terjaga ditengah gempuran kemodernan Ternate dalam perkembangan, membuat momentum ini menjadi dasar pijak para generasi (lebih khusus Dufa-Dufa) menjaga dan merawat tradisi. Kedua, nyala Ela-Ela menjadi simbol terbakarnya ego teritori (kompleks) yang lama membeku, kini menguap dengan teriakan mantra ela-ela pake jam-jam to suba jo sekaligus memberikan penanda penyatuan itu kini bermula.

Pada momen ini pemuda dari masing-masing kompleks duduk bekerja bersama, bahu-membahu menyukseskan pagelaran, ego dari masing-masing pun dikesampingkan. kantor lurah menjadi sentral, semua aktivitas yang berkaitan dengan ihwal ela-ela dilakukan, mulai dari babari hingga pada diskusi untuk menemukan konsep pagelaran.

Momentum ela-ela kini menjadi bukti bahwa Istiadat se kabasarang akan menunjukkan sisi khidmat sehingga menjadi energi spiritualitas, penyatuan di tengah  masyarakat yang semakin individualistik. Harap penulis semoga Ela-ela akan tetap menjadi alkena dari setiap kemungkinan-kemungkinan distilasi yang ada.

 

*Pegiat Komunitas Dufa-dufa Bergerak

 

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan