Falajan.com
Beranda Telaah Kalase “Identitas” Pulau Hiri

Kalase “Identitas” Pulau Hiri

*Rian Hidayat

 

Jika Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka percayalah pulau Hiri diciptakan ketika Tuhan sedang bahagia. Salah satu tanda kebesaran Tuhan yang ada di Pulau ini yakni dikelilingi oleh laut. Bagi penduduk Pulau Hiri, laut bukan hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan, melainkan bagian integral dari kehidupan sehari-hari dan menjadi bagian dari budaya mereka.

Hiri merupakan bagian dari Kesultanan Ternate, dalam sejarahnya memiliki kontribusi besar dalam sektor laut (Maritim) (Baca: Hidayat, 2021) Budaya Maritim Kesultanan Ternate. Selain itu laut bagi masyarakat Hiri hadir dalam sejarah heroik yang mengisahkan seorang pahlawan bernama Abdul Basir saat memimpin 20 pasukan “Hulpthroepen” Hiri dan Ternate dalam mengevakuasi Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah serta perang Pasifik di Morotai.

Bagi penduduk Hiri, laut menjadi sesuatu yang sakral. Sehingga, menjadi tradisi turun temurun dan masih terjaga. Terkait dengan laut, tradisi yang masih terawat hingga kini, salah satunya uko oti, sebuah tradisi yang dilakukan oleh tukang dalam pembuatan perahu. Terlepas dari fungsinya sebagai transportasi antar wilayah dan mencari ikan, perahu merupakan bagian terpenting bagi penduduk Hiri, mereka memaknai perahu sebagai bagian tubuh manusia (anatomi tubuh) seperti halnya tukang dalam mengonstruksi rumah.

Tradisi uko oti terdapat “nilai” dan dimensi spiritual yang mendalam. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keberkahan dan keselamatan dalam aktivitas di laut seperti menangkap ikan. Selain itu dalam upaya menjaga ekosistem laut dan memastikan kelangsungan hidup, berbagai metode penangkapan ikan telah dikembangkan. Salah satu metode penangkapan yang tetap relevan di Pulau Hiri hingga saat ini adalah penggunaan alat tangkap Kalase.

Ada dua kapal yang menjadi unit penangkapan kalase. Pertama berisi soma (jaring) sering disebut dengan oti soma, kedua oti gumi kapal yang memuat tali (gumi). Biasanya pengoperasian alat tangkap ini berada di perairan dangkal yang ada terumbu karang, sehingga teknik penangkapan ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang ekosistem laut. Alat tangkap ini memiliki hasil tangkapan utama ikan lolosi (Caesio). Pengoperasian alat tangkap kalase melibatkan orang banyak, dalam penamaan lain penduduk Hiri menyebut soma mancia dofu atau jaring orang banyak.

Dalam penangkapan ikan orang yang sudah berpengalaman akan memastikan di mana letaknya, kemudian seruan untuk memasang jaring akan di suarakan. Setelah terpasang, para nelayan akan berenang (tobo) secara bersamaan pada tali yang saling bertaut satu sama lain dan terdapat anyaman daun kelapa untuk mengarahkan ikan pada kantong jaring. Sebagian lainnya akan memukul permukaan laut menggunakan bambu dengan balutan daun kelapa, disusul perenang sambil mengepakkan tangan di permukaan air (baka), guna memecah konsentrasi ikan agar berlarian ke arah kantong jaring yang disiapkan. Aktivitas ini dilakukan secara serentak bersama dan berirama. Kemudian penyelam bertugas untuk mengangkat jaring atau tali yang tersangkut pada terumbu karang agar tidak merusak terumbu karang, karena mereka sadar bahwa jika terumbu karang rusak maka tempat mereka menangkap ikan akan semakin jauh.

Alat tangkap kalase sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia, di bawah oleh seorang ulama besar bernama Habib Taha Albar. Di mata orang Hiri Kalase bukan sekedar alat tangkap dengan struktur bagian yang terdiri dari tali, jaring, pelampung pemberat, dan kapal hingga menjadi satu unit penangkapan, melainkan sudah menjadi identitas yang tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat Pulau Hiri.

Bagai gayung bersambut, Pasca pelarangan alat tangkap cantrang, kalase pun turut bagian dalam alat tangkap yang dilarang. Meskipun alat tangkap cantrang telah kembali beroperasi, izin operasi kalase seakan tak diindahkan. Negara dalam kebijakan sering kali melupakan nilai sosiologi yang telah lama terjaga. Sejauh ini belum ada dasar yang kuat mengenai pelarangan alat tangkap kalase, tidak ada alasan rasional dari pemerintah kenapa alat tangkap ini harus dilarang. Jika merusak ekosistem atau tidak ramah lingkungan dan dampak kesehatan seharusnya ada data yang disertakan (kerusakan ekosistem dan kesehatan) akibat aktivitas kalase.

Namun, jika tidak selektif seharusnya yang diubah adalah konstruksi alat tangkap bukan melarangnya. Upaya pemerintah pasca pelarangan kalase, dengan memberikan alternatif bantuan alat tangkap huhate tidak memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi masyarakat dan terkesan menghilangkan tradisi yang telah lama dijaga.

Dorari Isa merupakan salah satu kelurahan yang merasakan dampak positif dengan keberadaan kalase, mulai dari ekonomi, sosial, dan pendidikan. Selain itu, perkawinan silang antar suku sering terjadi oleh Nelayan kalase sebagai bonus demografi. Walaupun dalam beberapa kasus kalase sering kali menjadi penyebab putus sekolah. Namun disisi lain, Pulau Hiri telah mendistribusi generasi yang berdaya saing dan unggul.

Tentu harus ada kajian lebih lanjut, untuk mengatur sistem penangkapan dengan alat tangkap kalase agar unsur keberlanjutan dari segi lingkungan dan sosial ekonomi berjalan seirama.

Tradisi Saya Gumi

Sebelum aktivitas penangkapan ikan dengan kalase, mereka menjalankan ritual pembacaan doa atau sering disebut dengan baca boso ici dengan tujuan meminta pertolongan dari sang pencipta, agar terhindar dari bahaya yang mengintai. Ritual ini sebagai simbol hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam (habluminallah, habluminannas, habluminalam).

Sebelum penangkapan dimulai, kentungan (tolo dololo) dipukul untuk mengumpulkan masyarakat sekaligus sebagai tanda mengambil daun kelapa muda secara bersama-sama. Kemudian, daun kelapa ini di bawah bersama ke pantai untuk dianyam dan diikatkan pada tali (saya gumi) sebagai alat bantu penangkapan.

Tradisi saya gumi merupakan rangkaian aktivitas Kalase yang memiliki peran penting dalam pembangunan masyarakat Pulau Hiri. Semua prosesi mulai dari pengambilan daun kelapa muda, aktivitas anyaman, hingga penangkapan ikan di laut, mencirikan nilai-nilai seperti gotong royong, kebersamaan dan tanggung jawab yang terus dipertahankan. Hal ini memperkuat ikatan sosial antar nelayan dan memupuk rasa persatuan dalam menghadapi tantangan bersama.

Melihat kalase laksana tarian laut yang membelai ombak, mengalir dengan irama kehidupan para nelayan dengan mata berbinar, menarik jerat-jerat dengan tekad yang tak tergoyahkan, mereka menyatukan tenaga, tekad dan semangat mengisi jala dengan ikan yang berkilauan. Kalase adalah harmoni antara manusia, laut dan alam, sebuah simfoni yang mengalir melintas generasi dan memperkaya jiwa. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi kalase mengajarkan kita tentang cinta, syukur, dan kepercayaan pada kekuatan yang besar karena di dalamnya terdapat kebijaksanaan dan kearifan.

 

*Pegiat Data Presisi

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan